
فقال : « ما
هذان اليومان ؟ » قالوا : يومان كنا نلعب فيهما في الجاهلية ، فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : « إن الله قد أبدلكم بهما خيرا ، منهما يوم الأضحى ، ويوم الفطر
»
“Dua hari apakah ini,.? Mereka mengatakan ; “Dua hari yang mana kami
biasa bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya pada masa jahiliyah.” Kemudian
Nabi menegaskan kepada mereka ; “Sesungguhnya Alloh telah mengganti untuk
kalian dua hari yang lebih baik dari pada hari itu, yaitu Iedul Adha dan Iedul
Fitri.” (Al Mustadrak ‘Ala Shahihain, Al Hakim)
Dua hari itulah yang kita di syariatkan untuk
merayakannya, serta bersenang-senang di dalamnya, adapun perayaan selain dua
hari raya itu maka tidaklah di syariatkan dalam Islam.
Amalan Yang Dianjurkan Di Dalamnya
- Mengumandangkan Takbir
Mengumandangkan takbir sewaktu Iedul Fitri
hukumnya mustahab (sunnah), ini merupakan pendapat jumhur fuqaha
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan bahkan An Nawawi menukil adanya ijma’ akan
di sunnahkanya. Waktu mulainya adalah pada malam Iedul Fitri atau
setelah hilal syawal terlihat, atau juga setelah matahari tenggelam pada hari
yang ke 30 Ramadhan. Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah. Hal ini
juga merupakan perkataan Al Baghawi, Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, demikian pula di fatwakan oleh Lajnah Dhaimah.
Adapun mengenai kapan waktu berakhirnya
takbir maka terdapat khilaf di dalamnya. Pendapat pertama mengatakan
takbir berhenti ketika imam memulai shalat, ini merupakan salah satu pendapat
Malikiyah, Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Hanabilah. Pendapat inilah
yang di pilih oleh Al Baghawi dan Syaikh Utsaimin.
Pendapat ke dua menyatakan bahwa takbir berhenti ketika imam
berhenti khutbah. Inilah yang shahih dari madzhab Hanabilah, serta merupakan
pendapat sebagian Syafi’iyah. Ini pulalah yang menjadi pendapat Ibnu Taimiyah
dan Syaikh Ibnu Baz.
Takbir Muqayyad
Tidak di syariatkan melakukan takbir
muqayyad (takbir yang di lakukan setelah shalat wajib) pada malam Iedul
Fitri, baik setelah shalat maghrib maupun isya’. Tidak pula sesaat setelah
shalat Ied sebagaimana yang di lakukan sebagian orang. Inilah yang menjadi
madzhab Hanabilah, dan pendapat yang benar dari jumhur Syafi’iyah. Pendapat
ini pula yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Shighah Takbir
Mengenai shighah takbir (bentuk pengucapan takbir) ada dua
perkataan, pertama ;
Mengucapkan Allohu Akbar, Allohu Akbar, la ilaha illallohu
wallohu Akbar, Allohu Akbar wa lillahil hamdi. Baik dengan dua takbir,
sebagaimana madzhab Hanabilah dan itulah yang di pilih Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah atau dengan tiga takbir, sebagaimana di pilih oleh syaikh Ibnu
Baz dan syaikh Utsaimin, kesemuanya baik dan boleh di lafadzkan.
Bentuk ke dua ; tidak ada bentuk
takbir khusus pada saat Iedul Fitri. Takbir yang di anjurkan adalah takbir
mutlaq, yaitu dengan segala macam ucapan pengagungan kepada Alloh,
sebagaimana pada firman-Nya ;
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS : Al Baqarah
: 185)
Inilah
yang menjadi pendapat dari Imam Malik dan Imam Ahmad.
Di
sunnahkan pula untuk mengeraskan suara ketika bertakbir di hari itu khusus bagi
laki-laki semenjak keluar dari rumah ke tempat shalat. Ini merupakan pendapat jumhur
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan merupakan riwayat dari Imam Abu
Hanifah dan yang di pilih oleh At Thahawiy.
Hukum
Bertakbir Dengan Bersama-Sama
Bertakbir secara bersama-sama dengan suara serentak termasuk
perkara yang tidak pernah ada tuntunanya dalam syariat, bahkan termasuk bid’ah.
Demikian apa yang di katakan ulama Malikiyah, juga as Syatibiy, Syaikh Bin Baz,
al Albani dan syaikh Utsaimin. Hal ini juga di fatwakan oleh Lajnah Daimah (Komite
Riset dan Fatwa Majelis Ulama Saudi Arabia).
Bertakbir yang di syariatkan adalah dengan cara sendiri, tidak di
lakukan bersama-sama dengan satu suara atau di komando. Alasanya tidak ada
riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi ataupun para sahabat melakukannya.
- Shalat
Ied
Shalat Ied memiliki keutamaan yang sangat agung. Hal itu dapat
kita lihat dari perbuatan Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam yang selalu
mengerjakannya serta tidak meninggalkannya. Demikian pula beliau menyuruh para wanita
(meskipun mereka sedang haidh) untuk menghadirinya meskipun tidak mengerjakannya. Para sahabat semasa beliau maupun setelahnya pun senantiasa
mengerjakan shalat ini dan tidak pernah meninggalkannya, di karenakan di
dalamnya terdapat ungkapan syukur kepada Alloh serta menampakkan
syiar-syiarnya.
Mengenai hukumnya maka para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Diantara mereka ada yang mengatakan fardhu ain
(wajib), sebagaimana yang di katakan Ibnu Habib, salah seorang ulama
Malikiyah. Dan inilah yang di pendapat yang di pilih Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Abu Hanifah, Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Baz. Ada pula yang mengatakan
hukumnya fardhu kifayah (wajib kifayah), jika sudah ada yang
mengerjakan maka gugur kewajiban atas yang lain. Ini merupakan dhahir
dari madzhab Imam Ahmad, dan sebagian pengikut madzhab Syafi’i.
Begitu pula ada yang mengatakan hukumnya sunnah
muakkadah, ini merupakan pendapat Imam Malik, sebagian pengikut madzhab
Syafi’i. [1]
Waktu Shalat Ied
Waktu shalat Ied di mulai semenjak matahari
meninggi sepenggalan Tombak, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit.
Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha Hanabilah (mayoritas ahli fiqih
dari kalangan Hanabilah), Malikiyah, dan merupakan salah satu pendapat dari
kalangan Syafi’iyah, juga yang di pilih oleh al Baghawi. Dan waktu berakhirnya,
madzhab Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) sepakat
setelah zawal (matahari mulai condong ke arah barat).
Lebih di sukai mengerjakan shalat Iedul
Fitri di akhir waktu, ini juga merupakan kesepakatan empat madzhab, bahkan
Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ akan hal tersebut.
Apakah Shalat Ied Harus Mengumandangkan Adzan
Dan Iqamah,.?
Sama sekali tidak di syariatkan adzan dan
iqamah pada saat pelaksanaan shalati Ied. Meskipun terdapat diwayat dari Ibnu
Zubair bahwasanya beliau melakukan adzan dan iqamah. Ada pula yang mengatakan
pertama kali yang melakukan hal itu adalah Ibnu Ziyad. Namun telah tsabit sebuah
riwayat yang datang mengenai sifat Nabi dalam mengerjakan shalat Ied adalah
tanpa adzan dan iqamah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah beliau
mengatakan ;
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ
أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku
menyaksikan bersama Rasululloh -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- pada hari Ied,
beliau memulai dengan shalat sebelum berkhutbah tanpa adzan dan juga iqamah” (HR
: Muslim)
Maka
riwayat yang bersumber dari Ibnu Zubair ataupun Ibnu Ziyad diatas tidak
teranggap. Di karenakan asal hukum asal ibadah adalah tauqifiyah (harus
berdasarkan dalil), sedangkan perbuatan shahabat seperti Ibnu Zubair ataupun Ibnu
Ziyad yang merupakan sigharu at tabi’in tidak bisa di jadikan dalil.
Maka yang benar dan sesuai dalil perbuatan Nabi, sebagaimana pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada adzan dan iqamah dalam shalat Ied.
Namun
jumhur fuqaha Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah memandang di sunnahkannya
iqamah untuk shalat Ied yang di laksanakan di padang pasir. Demikian pula
ketika shalat Ied di laksanakan di Masjidil Haram, jumhur ulama
Malikiyah juga memandang di sunnahkannya iqamah untuk shalat itu.
Nafilah
Untuk Shalat Ied
Tidak
ada shalat sunnah yang di kerjakan menyertai shalat Ied, baik setelahnya maupun
sesudahnya. Ini merupakan ijma’ para ulama sebagaimana di katakana oleh Ibnu
Qudamah dan An Nawawi.
Tata Cara Shalat Ied
Shalat Ied di lakukan dengan dua rekaat, ini juga merupakan ijma’
sebagaimana di nukil oleh Ibnu Qudamah, An Nawawi dan Al Mawardi. Mengenai
jumlah takbirnya di sunnahkan tujuh kali pada rekaat pertama selain takbiratul
ikhram, dan lima kali pada rekaat ke dua selain takbir intiqal. Inilah
yang menjadi madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan perkataan sejumlah ulama lain
seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin
dan yang lain.
Demikian pula di sunnahkan membaca doa istiftah setelah takbiratul
ikhram sebelum menginjak takbir yang lain. Hukum takbir zawaid
(tambahan) itu sendiri merupakan sunnah.
Apa Yang Di Baca Diantara Dua Takbir,.?
Pendapat pertama sebagaimana
di katakan As Syafi’I dan Ahmad, adalah ucapan dzikir kepada Alloh. Ini pula
yang di pilih oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Taimiyah. Pendapat kedua sebagaimana
madzhab Hanafiyah dan Malikiyah adalah tidak ada dzikir apapun yang di
sunnahkan saat itu.
Surat yang di anjurkan di baca pada saat itu adalah Al A’la dan Al
Ghasyiyah, atau Qaf dan Al Qamar.
Wallohu Ta’ala A’lam,..
[1]. Inilah pendapat yang lebih rajih insya Alloh, di
karenakan dalil yang ada menunjukkan akan hal ini. Diantaranya adalah perkataan
Nabi kepada salah seorang Badui, ketika itu beliau menjelaskan kepadanya
mengenai shalat lima waktu. Kemudian di tanyakan kepada beliau ; apakah bagi
saya ada kewajiban shalat yang lain selain shalat lima waktu itu,.? Kemudian
Nabi menjawab ; Tidak ada lagi, kecuali engkau mengerjakan shalat yang sifatnya
sunnah. (HR : Muslim, Baihaqi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar