Kebanyakan ayat Al Qur’an yang di dalamnya menyebutkan kata ‘zakat’ selalu
di sandingkan dengan kata ‘shalat’. Maka kita temukan semisal firman Alloh
Ta’ala ;
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا
سَبِيلَهُمْ
“Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan,.” [QS : At Taubah : 5]
Demikian pula ayat ini :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan
zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama” [QS : At Taubah : 11]
Pada ayat yang lain pun cukup banyak, tepatnya kata ‘zakat’ di dalam Al Qur’an
yang di sandingkan dengan kata ‘shalat’ ada pada 24 ayat. Pada surat Al Baqarah
ada pada ayat yang ke 43, 83, 110, 177, dan 277. Dalam surat An Nisaa ada pada
ayat ke 77 dan 162. Pada surat Al Maidah ada pada ayat yang ke 12 dan 55. Pada
surat At Taubah ada pada ayat ke 5, 11, 18 dan 71. Lalu pada surat Al Anbiya
ada pada ayat ke 73, pada surat Al Hajj ada pada ayat ke 41 dan 78, An Nuur
pada ayat ke 37 dan 56, An Naml pada ayat ke 3, Luqman pada ayat ke 4, Al Ahzab
pada ayat ke 33, Al Mujadalah pada ayat ke 13, Al Muzammil pada ayat ke 20 dan
terakhir Al Bayyinah pada ayat yang ke 5. Tentunya lantas muncul di benak kita
satu pertanyaan besar, mengapa demikian,.??
Zakat di dalam penerapannya adalah dengan memberikan sebagian dari harta
kita untuk Alloh Ta’ala, ini tak jauh berbeda dari shalat yang kita lakukan, yang
juga dalam penerapannya adalah dengan memberikan sebagian waktu yang kita
miliki untuk beribadah kepada Alloh Ta’ala. Tujuan dari ‘shalat’ dan ‘zakat’
yang kita kerjakan adalah sama, yaitu ‘at tathir’ [pensucian], pensucian
harta dan pensucian waktu, atau dengan kata lain adalah pensucian jiwa. Maka
sebenarnya antara shalat dan zakat tidak berbeda dalam hal ‘ghaayah’-nya.
Bagaimanakah penjelasannya,.? Silahkan di simak uraian singkat berikut.
Menegakkan Shalat
Menegakkan shalat bukanlah sekedar menunaikan shalat atau mengerjakannya,
namun lebih dari itu, yaitu memperkuat tali ikatan antara kita dengan Alloh
Ta’ala. Dengan begitu seorang Mukmin akan merasa lebih takut kepada Alloh
Ta’ala baik pada waktu ia mengerjakan shalatnya maupun pada waktu-waktu
diantara shalatnya yang lima, ia senantiasa dalam keadaan bertakwa. Jika
keadaanya demikian maka berarti ia telah mensucikan waktunya dan juga hidupnya,
dan shalat yang ia kerjakan telah dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji
dan munkar. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh ;
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” [QS : Al Ankabut : 45]
Shalat mengharuskan kita senantiasa khusyu’ pada waktu melakukannya,
sebagaimana pula sebuah ketakwaan mengharuskan kita senantiasa menjaga diri
untuk tetap berada di jalan yang lurus pada waktu-waktu diantara shalat yang
lima. Sesungguhnya waktu dari seorang Mukmin yang melaksanakan shalat itu
terbagi menjadi dua bagian, bagian kecil yaitu menit-menit pada saat
seseorang melaksanakan shalat lima waktu, dan bagian yang besar yaitu
selang waktu diantara shalat lima waktu. Pada waktu-waktu ini seseorang wajib
menjaga dirinya dengan ketakwaan yang ia miliki.
Terdapat kaitan erat antara khusyu’ pada saat melakukan shalat
dengan penjagaan diri agar tidak terjatuh dalam kamaksiatan pada waktu diantara
pelaksanaanya. Tidak mungkin seseorang bisa khusyu’ dalam shalatnya
sementara ia tidak bisa menjaga diri dari kemaksiatan-kemaksiatan dan perbuatan
keji.
Shalat merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai ketakwaan yang lebih
baik. Karena kita tahu dengan shalat seseorang mampu menjaga dirinya dari
perbuatan keji dan munkar.
Menunaikan Zakat
Di dalam Al Qur’an kata ‘zakat’ tidak
selamanya memiliki makna mengeluarkan harta, namun bisa bermakna lain. Sebagaimana
pada ayat berikut ;
فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَىٰ أَنْ تَزَكَّىٰ
“dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Adakah keinginan
bagimu untuk membersihkan diri” (QS : An Naziat : 18)
Pada ayat diatas kata-kata ‘tazakka’ yang pada dasarnya diambilkan
dari kata ‘zakat’ di maknakan dengan membersihkan diri. Makna ini sama
dengan tujuan dari ‘iqamatu as shalah’ yang tak lain adalah pembersihan
atau pensucian waktu dan juga jiwa. Pensucian waktu dari perbuatan-perbuatan
maksiat dan syirik kepada Alloh, serta pensucian jiwa dari belenggu hawa nafsu
yang senantiasa mengajak kepada keburukan.
Demikian pula pada ayat ;
وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ كَافِرُونَ
“Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-Nya, yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat
dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS : Fushilat : 5-6)
Imam At Thabari memberikan keterangan berkaitan dengan ayat di atas
bahwasanya para ulama berbeda pendapat mengenai makna firman Alloh {“orang-orang
yang tidak menunaikan zakat”}, kemudian beliau mengatakan ;
فقال بعضهم:
معناه: الذين لا يعطون الله الطاعة التي تطهرهم، وتزكي أبدانهم، ولا يوحدونه; وذلك
قول يذكر عن ابن عباس
“Sebagian ahli takwil mengatakan (bahwa) makna {“orang-orang yang tidak
menunaikan zakat”} adalah orang-orang yang tidak taat kepada Alloh
Ta’ala yang dengannya bisa membersihkan dan mensucikan mereka, dan
orang-orang yang tidak mentauhidkan Alloh. Ini merupakan perkataan yang di
sebutkan dari Ibnu Abbas.”
Kemudian beliau membawakan dua riwayat yang menunjukkan akan hal itu, salah
satunya adalah riwayat berikut ;
حدثني عليّ،
قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن عليّ، عن ابن عباس، قوله:( وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِينَ
الَّذِينَ لا يُؤْتُونَ الزَّكَاةَ ) قال: هم الذين لا يشهدون أن لا إله إلا الله
“Telah mengatakan kepadaku Ali, ia berkata ; telah mengatakan kepada kami Abu
Shalih ia berkata ; telah mengatakan kepadaku Muawiyah, dari Ali, dari Ibnu
Abbas (bahwa) firman Alloh Ta’ala ; {“orang-orang yang tidak menunaikan
zakat”} ia mengatakan ; “(maksudnya adalah) Mereka adalah orang-orang yang
tidak bersaksi bahwasanya tiada Ilah yang berkah di Sembah kecuali hanya Alloh
Ta’ala”. [[1]]
Penutup
Dari uraian singkat diatas dapat kita ketahui akan adanya kesamaan tujuan
dari ‘iqamatu as shalah’ dan ‘ítaa u az zakah’ yang tak lain
adalah ’at tathir’ (pensucian), yang mencakup pensucian waktu kita dari
kemaksiatan, dan jiwa kita dari kesyirikan dan belenggu hawa nafsu. Maka tak
heran jika Alloh menjadikan keduanya (menegakkan shalat dan menunaikan zakat)
sebagai syarat seseorang layak di golongkan sebagai seorang Mukmin atau tidak [[2]],
sebagaimana firman Alloh ;
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan
zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama” [QS : At Taubah : 11]
Wallohu a’lam,... [AR]
[1]. Jamiul Bayan Fi Takwilil Qur’an dengan
Muhaqqiq Ahmad Muhammad Syakir, pada
penjelasan firman Alloh Ta’ala surat Fushilat : 5-6
[2]. Syaikh Utsaimin memberikan penjelasan
gamblang mengenai hal ini dalam Syarhu Al Kabair, halaman 27, pada bahasan
mengenai “Dosa Besar Keempat, Meninggalkan Shalat”, terbitan Darul Kutub Al
Ilmiyah Beirut, cetakan ke 2 tahun 2008. Meskipun beliau memaknakan ‘zakat ‘
dalam ayat ini dengan zakat harta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar