
Kesalahan-kesalahan itu diantaranya adalah ;
- Membuat aneka makanan untuk leluhur
Kebiasaan ini banyak berkembang di masyarakat jawa.
Setiap kali menjelang hari Ied para ibu sibuk dengan membuat makanan yang
beraneka ragam. Ketika makanan itu sudah jadi mereka meletakkannya pada meja
khusus, dengan di tata rapi. Setelah itu mereka lantas melakukan ritual dengan
membakar ‘kemenyan’, ditambah dengan mantera-mantera khusus. Adapun tujuan dari
aneka makanan yang di letakkan di atas meja khusus tersebut adalah untuk
hidangan leluhur yang menurut anggapan mereka pada malam itu akan pulang ke
rumah. Oleh kerenanya biasanya pintu rumah pada malam hari pun tidak di tutup
hingga benar-benar larut. Hidangan tersebut hanya khusus untuk arwah leluhur
dan tidak boleh di makan oleh siapapun termasuk anggota keluarga hingga esok
paginya.
Untuk amalan semacam ini jelas pertama, secara
akal pun tidak dapat di terima. Bagaimana mungkin arwah manusia bisa makan
makanan manusia yang hidup,.? Kedua, keyakinan bahwa arwah orang yang
telah mati (leluhur) dapat pulang kembali ke rumah pada waktu-waktu tertentu
bertentangan dengan dalil dari Al Qur’an, yaitu firman Alloh ;
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي
لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ
الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan
(memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah
jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS : Az Zumar : 42)
Ayat di atas jelas menyatakan bahwa jiwa atau arwah orang
yang telah mati berada dalam genggaman Alloh Ta’ala. Maka tidak mungkin arwah
itu kembali pulang kerumah hanya untuk sekedar menengok keluarganya di dunia,
atau hanya sekedar makan hidangan yang di sediakan. Tidak ada satu pun nas menyatakannya,
bahkan yang ada adalah sebaliknya.
Ketiga, perbuatan
sebagaimana ritual yang di lakukan dengan pada saat menghidangkan aneka makanan
dengan menggunakan ‘kemenyan’ di takutkan bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam
kesyirikan. Karena di dalamnya ada pengagungan kepada selain Alloh Ta’ala
melalui mantera-mantera yang di baca ataupun yang lainnya.
- Menyambutnya Dengan Membunyikan Petasan
Inilah yang di lakukan oleh sebagian kaum Muslimin ketika
menyambut hari Ied, hari yang seharusnya kita di dalamnya banyak bersyukur
kepada Alloh atas segala nikmat dan kelancaran yang di berikan dalam kita
menjalankan ibadah di bulan mulia. Tak di ragukan lagi perbuatan ini disamping
mengganggu orang lain, khususnya tetangga dekat kita karena suara yang
memekakkan telinga juga dapat mengakibatkan pemborosan pada perkara yang tidak
ada manfaatnya atau bahkan maksiat di sisi Alloh. Kita tahu bahwa tidak di katakan
sebagai seorang Muslim apabila tetangga tidak aman dari perbuatan kita. Nabi
bersabda ;
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي
لا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidaklah di katakan sebagai seorang Mukmin
apabila tetangganya tidak merasa aman dari perbuatan jahatnya.” (HR : Bukhari)
Demikian pula Nabi mengkaitkan keimanan
dengan berbuat baik kepada tetangga. Nabi bersabda ;
ومن
كان يؤمن بالله واليوم الآخر ، فليكرم جاره
“Barang
siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan
tetangganya.” (HR : Bukhari & Muslim)
Kemudian
Alloh juga mengingatkan kita dari berbuat tabdzir, Alloh berfirman ;
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
“Sesungguhnya para pemboros (yang menggunakan
hartanya secara berlebihan untuk kemaksiatan) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS
: Al Israa : 27)
- Budaya
Berbusana Baru
Pada
asalnya membeli pakaian baru merupakan perkara yang mubah. Menjadi berlebihan manakala hari raya serasa tidak ‘afdhal’
tanpa adanya baju baru. Dan inilah yang terjadi pada masyarakat kita. Image
‘hari raya tiba busana harus baru pula’ sudah mendarah daging, oleh
karenanya tiap kali mendekati hari raya mereka berbondong-bondong pergi ke
pusat perbelanjaan untuk berburu busana baru. Tak jarang di antara mereka
menghabiskan hingga jutaan rupiah untuk agenda ini. Padahal Alloh telah
memperingatkan kita agar kita tidak berlebih-lebihan meskipun dalam perkara
yang mubah. Alloh berfirman ;
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS : Al A’raaf : 31)
Lebih parahnya lagi yang tidak mampu pun di ‘paksa-paksakan’
untuk mengikuti kebiasaan ini hingga memaksa diri berhutang demi budaya
ini. Padahal yang Nabi ajarkan adalah berpakaian dengan pakaian yang indah dan
baik dari pakaian yang kita miliki, bukan harus melulu membeli pakaian khusus
untuk menyambutnya. Pakaian lama pun bisa di pakai asal
memenuhi kriteria, yaitu pakaian terindah dan terbagus yang kita miliki.
- Budaya
Bersalaman
Diantara
budaya yang ngetren di negeri kita ketika hari Ied tiba adalah budaya
bersalam-salaman sambil bermaaf-maafan. Ketahuilah bahwa sebenarnya budaya
bersalaman dan bermaaf-maafan itu tidak pernah di lakukan oleh Nabi dan para
sahabat. Yang ada adalah sebuah riwayat yang menceritakan mengenai tahni’ah
(ucapan selamat) yang di lakukan oleh sebagian sahabat, itupun
tanpa di sertai dengan perbuatan ‘salam-salaman’ sebagaimana budaya
masyarakat kita saat ini. Perhatikan riwayat berikut ;
عن جبير بن نفير ، قال : كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض ، تُقُبِّل منا ومنك . قال ابن حجر : إسناده
حسن
“Dari
Jubair bin Nufair beliau mengatakan ; Para sahabat Nabi Shalallohu ‘alaihi wa
Sallam apabila mereka saling bertemu pada hari Ied sebagian dari mereka
mengucapkan kepada yang lain ; “Tuqubbila minna wa minka”.
Ibnu
Hajar mengatakan ; “Sanadnya baik”. (sebagaimana dalam Al Fatkh 2/446)
Namun
meskipun demikian menurut pandangan Imam Ahmad bagi kita cukup menjawab saja,
tidak perlu memulai ucapan tahniah itu kepada orang lain. Maka kita
dapatkan ucapan beliau dalam hal ini ;
إن هنأني أحد أجبته وإلا لم أبتدئه
“Jikalau
ada yang mengucapkan tahni’ah kepadaku maka aku menjawabnya, jikalau
tidak maka aku pun tidak memulainya” [1]
Sementara
budaya bersalaman (dengan selain makhram) jelas bertentangan dengan syariat.
Sebagaimana kita tahu bahwa ada hadits yang menegaskannya ;
لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل
له
“Kepala
seseorang diantara kamu sekalian di tusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik
dari pada ia bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya.” (HR
: Thabrani & Baihaqi) [2]
[1].
Silahkan lihat fatwa syaikh Shalih Al Munajjid mengenai ADAB HARI IED di Website
yang beliau ampu, tepatnya pada link berikut ; http://islamqa.info/ar/ref/36442
[2].
Mengenai hadits ini Al Hatsami mengatakan bahwa para perawinya merupakan perawi
yang shahih. Al Mundziri juga mengatakan bahwa perawinya terpercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar