Khurofat dalam
bahasa arab berasal dari kata khorofa, yaitu rusaknya akal karena proses
penuaan (Jamharatul Lughah / 1 / 308 Makabah Syamilah). Sedangkan makna secara
bahasa dari kata ini di kaitkan dengan nama seorang laki-laki dari kalangan
bani ‘Udzrah (yang bernama khurofah) yang di culik oleh Jin, ketika ia kembali
kepada kaumnya kemudian ia menceritakan apa yang di alami dan di lihatnya, akan
tetapi kaumnya mendustakannya dan tidak mempercayainya. Maka mereka lantas mengatakan
“cerita khurofah”. (Mukhtaaru as Sihhah / 84 / Makabah Syamilah)
Berdasarkan hal
diatas maka khurofat mencakup segala perkataan dan keyakinan yang tidak masuk
akal, yang keluar dari koridor syariat. Perkara ini merupakan perkara yang
sudah ada sejak zaman Nabi kita Muhammad Shalallohu ‘alaihi wa Sallam. Diantara
bentuk khurofat pada masa jahiliyah dahulu adalah “at Tiyaroh”.
Tiyaroh
hakikatnya merupakan anggapan sial
karena sesuatu yang di lihat, atau di dengar, dan anggapan sial dengan waktu tertentu,
ataupun tempat tertentu. (Syarhul Labair Li
Ibni Utsaimin / 210 / Darul Kutub al Ilmiyah Beirut)
Di namakan
tiyaroh (dari kata-kata “toirun” yang bermakna burung) karena
orang-orang pada masa jahiliyah dahulu jika mereka hendak melakukan perjalanan
maka mereka akan mencari petunjuk lewat pergerakan burung mengenai baik
tidaknya perjalanan yang akan mereka tempuh. (lihat At Tamhid li Syarhi Kitabi
at Tauhid, Shaleh bin Abdul Aziz / 472 Darut Tauhid, www.al-islam.com)
Maka seseorang
akan melanjutkan perjalanannya apabila ia melihat petunjuk dari burung tersebut
yang ia artikan sebagai sebuah keberuntungan, dan akan membatalkan
perjalanannya apabila ia melihat petunjuk dari burung yang ia artikan sebagai
sebuah kesialan. Jelas ini secara akal-pun tidak dapat di terima. Bagaimana
mungkin seseorang menggantungkan nasibnya hanya kepada seekor burung yang tidak
mempunyai akal dan tidak bisa memberikan madharat dan manfaat kepada manusia,.?
Bisa jadi perjalanan yang ia batalkan karena ada isyarat dari burung yang ia
artikan dengan kesialan sebenarnya merupakan perjalanan yang akan memperoleh
banyak keberuntungan dan faedah di dalamnya dari Alloh, begitu pula sebaliknya,
bisa jadi perjalanan yang ia lakukan karena ada isyarat dari burung yang ia
artikan dengan keberuntungan sebenarnya merupakan perjalanan yang akan mendapat
kesialan dan madharat.
Khurofat semacam
ini Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam melarang kita dari melakukannya di karenakan
perbuatan ini termasuk perbuaan syirik. Sebagaimana pada sebuah hadits :
حَدَّثَنَا وَكِيعُ
بْنُ الْجَرَّاحِ ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ عِيسَى
بْنِ عَاصِمٍ ، عَنْ زِرٍّ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
- صلى الله عليه وسلم - : الطِّيَرَةُ شِرْكٌ مَرَّتَيْنِ وَمَا مِنَّا إِلاَّ ،
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Telah mengaakan kepada kami Waqi’ bin Jarrah dari Sufyan, Dari
salamah bin Kuhail dari Isa bin ‘Ashimdari Zirr, dari Abdullah beliau
mengatakan : “Rasululloh Shalallohu alaihi wa Sallam bersabda :”Tiyaroh itu
syirik, -beliau mengulangnya sampai dua kali-, dan tidaklah di antara kita
kecuali,..., akan tetapi Alloh menghilangkannya dengan tawakkal.” (HR : Ibnu Hibban, Ibnu Syaibah dan syaikh al Albani mengatakan
hadits ini shahih dalam Shahihu at Targhib wa at Tarhib)
Imam
Nawawi mengatakan : “dan pada hadits lain (Nabi bersabda : “Tiyaroh itu
syirik”), yaitu keyakinan bahwasannya hal itu dapat dapat memberikan
manfaat atau madharat, ketika mereka beramal dengan petunjuk itu serta meyakini
pengaruhnya maka hal itu merupakan kesyirikan” (Syarhu an Nawawi ‘ala Muslim /
7 / 377 www.al-islam.com)
Sedang Al A’dzim
Abadi menjelaskan sabda beliau “Tiyaroh itu
syirik” : “Yaitu karena
keyakinan mereka bahwasannya tiyaroh itu dapat mendatangkan bagi mereka manfaat
ataupun menolak dari mereka madharat,..” (Aunul Ma’bud / 8 / 438 www.al-islam.com)
Perkara ini di
golongkan ke dalam perkara kesyirikan sebab seorang hamba yang berbuat demikian
berarti ia telah mengkaitkan hatinya kepada selain Alloh yaitu dengan keyakinan
sebagaimana diatas. Namun apakah kesyirikan yang di maksud di sini adalah
kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari agama,.?
Jawabannya
tiyaroh termasuk syirik kecil dan tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama. Hadits
di atas sebagaimana pula hadits berikut :
اثْنَتَانِ فِى
النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى
الْمَيِّتِ
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur,
yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit”. (HR : Muslim)
Kufur yang di maksud pada hadits ini bukanlah syirik akbar
yang mengeluarkan pelakunya dari agama, akan tetapi syirik kecil. Pendapat ini
juga yang di pilih oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz
dalam Tahdzibu Tashilil Aqidatil Islamiyah, dan juga Syaikh Shaleh bin Abdul
Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh dalam At Tamhid Li Syarhi Kitab at
Tauhid.
Namun bukanlah
berarti jika hal tersebut tidak termasuk syirik akbar kita boleh meremehkan dan
menganggap enteng perkara ini, karena syirik kecil pun bisa menjadi wasilah
atau perantara kepada syirik besar atau syirik akbar yang membinasakan. Dan
syaikh Abdullah bin Abdul Aziz menggolongkannya ke dalam “manqasaatu at
tauhid”, yaitu hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan tauhid.
Semisal khurafat
jahiliyah jenis ini pada masa sekarang adalah adanya kepercayaan jika ada salah
satu jenis burung tertentu berkicau di depan rumah pada siang hari maka hal itu
menandakan akan ada tamu yang akan datang. Banyak orang yang masih berkeyakinan
demikian khususnya di daerah pedesaan yang memang notabenya masih kental dengan
adat istiadat. Kemudian hal sejenis lainnya jika ada burung gagak yang berkicau
di malam hari maka hal itu menandakan akan datangnya malapetaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar