Terhenyak dan
kaget, itulah yang saya rasakan tatkala mendengar perkataan salah seorang
ikhwah yang merupakan mantan anggota salah satu Majelis Tafsir yang tak asing
lagi namanya saat ini dan cukup masyhur. Ikhwah tersebut bercerita kepada saya
mengenai aqidah yang di sampaikan salah seorang Ustadz kelompok pengajian
tersebut berkaitan dengan masalah Lailatul Qadar. Sang Ustadz mengatakan bahwa
Malam Lailatul Qadar itu hanyalah terjadi sekali yaitu pada waktu Al Qur’an di
turunkan, adapun sekarang tidak terjadi lagi. Sang Ustadz mengqiyaskan dengan
kejadian kemerdekaan bangsa kita yaitu tanggal 17 Agustus 1945, maka Lailatul
Qadar kurang lebihnya sama seperti itu. Benarkah pengqiyasan tersebut,..??! Saya
coba paparkan permasalahan ini sebagaimana di bawah,.semoga Alloh mudahkan.
Malam
Dimana Al Qur’an Di Turunkan
Begitu mulianya
malam itu sehingga Alloh memujinya, inilah malam di mana Al Qur’an sebagai
petunjuk umat manusia di turunkan. Alloh berfirman :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS
: Al Qadr : 1)
Malam ini pula
yang di maksudkan Alloh pada firman-Nya yang lain :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan.” (QS : Ad Dukhaan : 3)
Inilah malam di
mana Al Qur’an di turunkan secara keseluruhan dari Lauhul Mahfudz ke Baitul
‘Izzah di langit dunia untuk kemudian di turunkan kepada Nabi Shalallohu
‘alaihi wa Sallam secara berangsur-angsur. Ibnu Abbas mengatakan :
قال ابن عباس وغيره:
أنزل الله القرآن جملة واحدة من اللوح المحفوظ إلى بيت العِزّة من السماء الدنيا،
ثم نزل مفصلا بحسب الوقائع في ثلاث وعشرين سنة على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Alloh menurunkan Al Qur’an secara menyeluruh dari Lauhul
Mahfudz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, kemudian Al Qur’an turun secara
berkala berdasarkan kejadian-kejadian (yang terjadi di muka bumi) dalam tempo
dua puluh tiga (23) tahun kepada Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/441 Maktabah Syamilah]
Hal pertama yang harus kita garis bawahi bahwa malam itu benar adanya, hal
ini berdasarkan dalil qath’i dalam Al Qur’an sebagaimana di atas.
Keutamaan Lailatul Qadar
Kemudian Alloh menerangkan mengenai malam itu :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ * لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ * تَنَزَّلُ
الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ * سَلاَمٌ
هِىَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari
seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS
: Al Qadar : 1-5)
Inilah malam
yang dikatakan oleh Alloh lebih baik dari pada seribu bulan, yaitu beramal di
malam itu lebih baik daripada beramal di malam yang lain selama seribu bulan. Malaikat-malaikat
pun turun bersamaan dengan turunnya barakah dan rahmat pada malam itu. [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 4/448 Maktabah Syamilah] Bahkan keberkahanya hingga terbit
fajar (subuh). Oleh karenanya Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam
menganjurkan kepada kita agar berusaha menghidupkan malam tersebut dengan
ibadah. Beliau bersabda :
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa menghidupkan malam Lailatul
Qadar dengan ibadah karena keimanan dan mengharap pahala dari Alloh diampuni
baginya dosa-dosanya yang telah lalu,.” (HR : Bukhari)
Pada malam itu pula di jelaskan segala urusan penuh
hikmah, sebagaimana firman-Nya :
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,.”
(QS : Ad Dukhaan : 4)
Ibnu Abbas menjelaskan ayat di atas ; “Dituliskan dari Ummul Kitab (Lauhul
Mahfudz) yang telah di tetapkan (yang akan terjadi) dalam satu tahun, mulai
dari kebaikan, keburukan, rizki dan kematian.” [Ma’alimu at Tanzil Al Baghawi
7/227 Dar Thayyibah Li an Nasyr wa at Tauzi’]
Hal kedua yang harus kita garis bawahi adalah bahwa malam itu merupakan
malam yang penuh kemuliaan dan keutamaan, sehingga hendaknya setiap Mukmin
dapat menghidupkan malam itu dengan beribadah kepada Alloh.
Apakah Lailatul Qadar Hanya Terjadi Sekali Pada Waktu Al
Qur’an Di Turunkan,.??
Memang terjadi perbedaan di kalangan ulama mengenai hal ini, namun yang
cukup di sayangkan dari pernyataan sang Ustadz adalah pengqiyasan yang tidak
pada tempatnya. Malam yang penuh barakah dan kemuliaan bahkan lebih baik dari
pada seribu bulan di qiyaskan hanya dengan kemerdekaan RI yaitu tanggal 17
Agustus 1945,.?!
Entah ulama mana yang beliau teladani sehingga mengqiyaskan sebuah
permasalahan syariat dengan kemerdekaan sebuah bangsa. Padahal kita ketahui
bersama terdapat syarat-syarat dan rukun-rukun di dalam qiyas.
Ibnul Jauzi berkata mengenai hal ini :
واختلف العلماء هل
ليلة القدر باقية ، أم كانت في زمن النبي صلى الله عليه وسلم خاصة؟ والصحيح بقاؤها
“Ulama berbeda pendapat mengenai apakah Lailatul Qadar
itu senantiasa ada ataukah hanya terjadi
pada masa Nabi Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam saja,.? Yang benar adalah bahwa
Lailatul Qadar itu senantiasa ada.” [Zaadul Masiir Ibnul Jauzi 6/177 Makabah Syamilah]
Pendapat itu pula lah yang di pilih oleh Jumhur Ulama sebagaimana di
katakan oleh Fakhru ar Raazi di dalam Mafatiihul Ghaib. Pendapat
ini pula yang sejalan dengan dalil-dalil dari hadits Nabi Shalallohu ‘alaihi wa
Sallam, diantaranya perintah beliau unuk mencari malam Lailatul Qadar dan
perbuatan beliau yang senantiasa bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan. Sabda beliau :
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ
الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah Lailatul Qadar pada malam-malam
ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR : Bukhari)
Pada hadits ini tidak kita dapati keterangan yang
membatasi bahwa Lailatul Qadar hanya terjadi pada masa Nabi, dan apabila
kejadian itu hanya sekali maka tidaklah mungkin Nabi Shalallohu ‘alaihi wa
Sallam memberikan tanda-tanda mengenai datangnya Lailatul Qadar, karena tanda itu
di dapati ketika beliau menjumpainya. Dan itu artinya ketika ada salah seorang
sahabat bertanya mengenai tandanya dan beliau memberikan tandanya, sementara di
sisi lain beliau juga menganjurkan untuk mencari malam Lailatul Qadar tersebut
maka hal itu menunjukkan bahwa kejadian itu akan berulang. Kita perhatikan perkataan
Ubay bin Ka’ab :
هِىَ اللَّيْلَةُ
الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ
لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ
فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا
“Malam itu (Lailatul Qadar) merupakan malam
yang Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk
menegakkanya (dengan ibadah), malam iu merupakan malam yang ke dua puluh tujuh,
yang matahari terbit di pagi harinya tampak putih tanpa
cahaya yang menyinari.” (HR : Muslim)
Maka kita dapatkan kesimpulan dari perbedaan pendapat
seputar permasalahan ini yang lebih tepat adalah bahwa Lailatul Qadar
senantiasa ada, dan hendaknya kita bersungguh-sungguh untuk meraih
kemuliaannya dan mendapatkanya pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir di
bulan Ramadhan, sebagaimana Nabi sendiri melakukannya. ‘Aisyah mengabarkan :
كَانَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا
لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila
memasuki sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan) beliau mengencangkan
ikatan kainnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan
keluarganya.” (HR : Bukhari & Muslim)
gan,
BalasHapustolong diberikan nama dari ulama yang mengatakan hal tersebut? di sini bukan maksud kita untuk menggunjingnya tapi untuk menyebarkan kepada umat bahwa ucapan ulama tersebut salah.
karena pada jaman dulu pun diperkenankan untuk menyebutkan nama dalam menunjukkan apakah ia perawi yang tsiqoh atau tidak.