Kamis, 12 Juli 2012

Maslahat Ketika Berpuasa Dan Berbuka Bersama Dengan Pemerintah

Ketika hari-hari mulai beranjak memasuki bulan Ramadhan maka permasalahan klasik yang ada di negeri ini kembali muncul. Tak lain adalah permasalahan penentuan awal Ramadhan. Telah kita ketahui bersama bahwasanya terdapat perbedaan khususnya di negara kita mengenai hal tersebut. Perbedaan ini terjadi tidak lain di sebabkan oleh perbedaan metode yang di pakai, yaitu metode ru’yah dan hisab. Metode ru’yah adalah dengan melihat Hilal pertama-kali pada awal bulan dengan mata telanjang,  pada saat matahari tenggelam, yang mana hal itu menunjukkan pergantian bulan dan memasuki bulan berikutnya. Adapun metode hisab adalah metode perhitungan secara sistematis yaitu dengan melihat peredaran bulan, bumi, matahari serta benda-benda langit lain untuk menentukan di mulainya awal bulan. Lalu manakah diantara dua metode tersebut yang lebih tepat di terapkan?


Apabila kita kembali merujuk pada dalil-dalil yang ada dan pendapat ulama yang berkompeten dalam masalah ini maka metode ru’yah-lah yang lebih tepat kita pakai dalam penentuan awal Ramadhan dan satu syawal. Inilah yang secara gamblang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam. Kita lihat sabda beliau dalam hal ini :

إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ

“Jika kalian melihatnya maka berpuasalah, dan jika kalian (kembali) melihatnya maka berbukalah, dan apabila hilal tidak terlihat oleh kalian maka genapkanlah menjadi 30 hari.” (HR : Bukhari & Muslim)

Riwayat semacam ini amatlah banyak, dan termasuk mutawatir. Dan pada hadits ini Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam mengkaitkan dengan melihat secara langsung, dan apabila tidak terlihat maka hendaknya kita menggenapkan bulan  menjadi tiga puluh (30) hari. Perintah ini jelas, maka salah apabila kita menggunakan metode hisab karena menyelisihi apa yang ada dalam hadits ini yaitu dengan melihat. Di sisi lain terdapat hadits yang jelas menyatakan batilnya menentukan awal puasa dan akhir puasa dengan metode hisab, yaitu sabda beliau :

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ

“Kami adalah Ummat yang tidak bisa membaca dan menulis, kami tidak menghitung (berhisab), bulan itu seperti ini, seperti ini, yaitu pada hari ke 29 dan pada hari yang ke 30.” (HR : Bukhari & Muslim)

Inilah pendapat yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Bin Baz, demikian juga Lajnah Dhaimah dan ulama-ulama lainya.

Lantas bagaimanakah apabila kita hidup di negara yang memiliki karakteristik sebagaimana negara kita Indonesia yang kadang berbeda diantara kaum Muslimin pada saat penentuan awal Ramadhan dan akhir puasa atau awal Syawal,.?

Perlu kita ingat bahwa Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita agar mengerjakan puasa, berhari raya, dan berkurban di lakukan bersama-sama. Beliau bersabda :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, berbuka adalah hari dimana kalian semua berbuka, dan berkurban (Iedul Adha) adalah hari dimana kalian semua berkurban” (HR : Turmudzi & Ibnu Majah, serta di shahihkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah Shahihah)

Imam Turmudzi mengatakan mengenai hadits ini : “Sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : “Sesungguhnya makna dari hadits ini adalah bahwasannya berpuasa dan berbuka itu bersama-sama dengan jamaah dan kebanyakan manusia”. (Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)

As-Shan’ani mengatakan : “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa yang dianggap benar dalam penetapan Hari Raya adalah yang di sepakati oleh manusia, dan bahwasannya orang yang bersendirian dalam mengetahui jatuhnya Hari Raya dengan ru’yah wajib baginya untuk bersepakat dengan selainnya, dan bersama mereka dalam masalah shalat, berbuka (Iedul Fitri) dan berkurban”. (Subulus Salam 2/72, lihat Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)

Abul Hasan As-Sanadiy juga mengatakan :

 “Dhahir dari hadits ini maknanya adalah bahwasannya perkara ini (menentukan masuknya Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha pent.) bukanlah perkara yang boleh di masuki ranahnya oleh perseorangan dan ditentukan secara pribadi. Bahkan perkara ini merupakan perkara yang harus di kembalikan kepada Imam (pemimpin kaum Muslimin pent.) dan jamaah (kaum Muslimin pent.), wajib bagi setiap pribadi mengikuti Imam dan jamaah. Maka dengan ini apabila seseorang melihat Hilal (bulan) dan Imam menolak persaksiannya maka tidak seyogyanya ia memiliki hak untuk menetapkan perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti jamaah dalam permasalahan ini.” (Hasyiyah As-Sanadiy ‘Ala Ibni Majah 3/431 Maktabah Syamilah)

Adanya kebersamaan dalam hal ini akan menjadikan umat ini menjadi umat yang satu, dan tidak terpecah-belah. Jika setiap kelompok atau organisasi menentukan sendiri-sendiri masalah ini, yang timbul adalah perbedaan dan perselisihan.

Oleh karenanya hal ini merupakan hak dari Imam atau Pemimpin yang mengurusi kemaslahatan kaum Muslimin. Dan Imam atau Pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah, karena merekalah yang mengurusi dan mengatur permasalahan kaum Muslimin.

Syaikh Al-Albani ketika mengomentari hadits ini juga menuturkan :

و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد - و لو كان صوابا في وجهة نظره - في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ، و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء

“Dan inilah (mengikuti Imam dalam perkara penentuan awal Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha pent.) yang sesuai dengan syariat yang toleran, yang tujuan dari syariat ini adalah mengumpulkan manusia dan menyatukan barisan mereka, demikian pula menjauhkan mereka dari segala apa yang dapat memecah-belah persatuan mereka yang terdiri dari pemikiran-pemikiran pribadi. Maka syariat tidak menganggap pandangan perseorangan -meskipun benar menurut pendapat orang tersebut- pada ibadah yang bersifat jama’iyyah (bersama-sama), seperti puasa, penghambaan, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat para sahabat -semoga Alloh meridhai mereka- sebagian dari mereka shalat di belakang lainnya sedangkan diantara mereka terdapat perbedaan pendapat. Sebagian berpendapat bahwasannya menyentuh wanita, anggota (kemaluan pent.) dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu, sedang sebagian yang lain tidak berpendapat demikian. Sebagian dari mereka shalat dengan tidak di qashar ketika sedang safar, dan sebagian dari mereka mengqasharnya,.? Perselisihan diantara mereka dalam masalah ini tidak menghalangi mereka untuk melakukan shalat bersama-sama di belakang imam yang satu, dan menggenapkan shalat tersebut bersama imam. Yang demikian itu di karenakan mereka mengetahui bahwasanya perpecahan di dalam agama lebih buruk dari pada perbedaan dalam sebagian pendapat” (Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)

Itulah sikap para sahabat, meskipun mereka berbeda pendapat namun ketika itu berkaitan dengan ibadah-ibadah jama’iyyah mereka sepenuhnya menyerahkan kepada Imam. Ketahuilah bahwa perpecahan dalam agama itu buruk,.! [AR]*

1 komentar:

  1. ana setujuh dengan agan.

    semoga semua organisasi yang menyatakan dirinya islam bisa bersatu padu

    BalasHapus

 

ABU RUQOYYAH Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template | Supported by denkhoir