Ketika hari-hari
mulai beranjak memasuki bulan Ramadhan maka permasalahan klasik yang ada di
negeri ini kembali muncul. Tak lain adalah permasalahan penentuan awal
Ramadhan. Telah kita ketahui bersama bahwasanya terdapat perbedaan khususnya di
negara kita mengenai hal tersebut. Perbedaan ini terjadi tidak lain di sebabkan
oleh perbedaan metode yang di pakai, yaitu metode ru’yah dan hisab. Metode
ru’yah adalah dengan melihat Hilal pertama-kali pada awal bulan dengan
mata telanjang, pada saat matahari tenggelam, yang
mana hal itu menunjukkan pergantian bulan dan memasuki bulan berikutnya. Adapun
metode hisab adalah metode perhitungan secara sistematis yaitu dengan
melihat peredaran bulan, bumi, matahari serta benda-benda langit lain untuk
menentukan di mulainya awal bulan. Lalu manakah diantara dua metode tersebut
yang lebih tepat di terapkan?
Apabila kita
kembali merujuk pada dalil-dalil yang ada dan pendapat ulama yang berkompeten
dalam masalah ini maka metode ru’yah-lah yang lebih tepat kita pakai
dalam penentuan awal Ramadhan dan satu syawal. Inilah yang secara gamblang
diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shalallohu ‘Alaihi wa Sallam. Kita lihat
sabda beliau dalam hal ini :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوا لَهُ
“Jika kalian melihatnya maka berpuasalah, dan jika kalian
(kembali) melihatnya maka berbukalah, dan apabila hilal tidak terlihat oleh
kalian maka genapkanlah menjadi 30 hari.” (HR : Bukhari & Muslim)
Riwayat
semacam ini amatlah banyak, dan termasuk mutawatir. Dan pada hadits ini Nabi
Shalallohu ‘alaihi wa Sallam mengkaitkan dengan melihat secara langsung, dan
apabila tidak terlihat maka hendaknya kita menggenapkan bulan menjadi tiga puluh (30) hari. Perintah
ini jelas, maka salah apabila kita menggunakan metode hisab karena
menyelisihi apa yang ada
dalam hadits ini yaitu dengan melihat. Di sisi lain terdapat hadits yang jelas menyatakan batilnya
menentukan awal puasa dan akhir puasa dengan metode hisab, yaitu sabda
beliau :
إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي
مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
“Kami adalah Ummat yang tidak bisa membaca dan menulis, kami tidak
menghitung (berhisab), bulan itu seperti ini, seperti ini, yaitu pada hari ke
29 dan pada hari yang ke 30.” (HR :
Bukhari & Muslim)
Inilah
pendapat yang di pilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Bin Baz,
demikian juga Lajnah Dhaimah dan ulama-ulama lainya.
Lantas bagaimanakah apabila kita hidup di negara yang memiliki
karakteristik sebagaimana negara kita Indonesia yang kadang berbeda diantara
kaum Muslimin pada saat penentuan awal Ramadhan dan akhir puasa atau awal
Syawal,.?
Perlu
kita ingat bahwa Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita agar
mengerjakan puasa, berhari raya, dan berkurban di lakukan bersama-sama. Beliau
bersabda :
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, berbuka adalah
hari dimana kalian semua berbuka, dan berkurban (Iedul Adha) adalah hari dimana
kalian semua berkurban” (HR :
Turmudzi & Ibnu Majah, serta di shahihkan Syaikh Al Albani dalam Silsilah
Shahihah)
Imam
Turmudzi mengatakan mengenai hadits ini : “Sebagian ahli ilmu menafsirkan
hadits ini dengan mengatakan : “Sesungguhnya makna dari hadits ini adalah
bahwasannya berpuasa dan berbuka itu bersama-sama dengan jamaah dan kebanyakan
manusia”. (Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)
As-Shan’ani
mengatakan : “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa yang dianggap benar dalam penetapan
Hari Raya adalah yang di sepakati oleh manusia, dan bahwasannya orang yang
bersendirian dalam mengetahui jatuhnya Hari Raya dengan ru’yah wajib
baginya untuk bersepakat dengan selainnya, dan bersama mereka dalam masalah
shalat, berbuka (Iedul Fitri) dan berkurban”. (Subulus Salam 2/72, lihat
Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)
Abul
Hasan As-Sanadiy juga mengatakan :
“Dhahir dari hadits ini maknanya adalah
bahwasannya perkara ini (menentukan masuknya Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul
Adha pent.) bukanlah perkara yang boleh di masuki ranahnya oleh perseorangan
dan ditentukan secara pribadi. Bahkan perkara ini merupakan perkara yang
harus di kembalikan kepada Imam (pemimpin kaum Muslimin pent.) dan jamaah
(kaum Muslimin pent.), wajib bagi setiap pribadi mengikuti Imam dan jamaah.
Maka dengan ini apabila seseorang melihat Hilal (bulan) dan Imam menolak
persaksiannya maka tidak seyogyanya ia memiliki hak untuk menetapkan perkara
ini, dan wajib baginya untuk mengikuti jamaah dalam permasalahan ini.” (Hasyiyah
As-Sanadiy ‘Ala Ibni Majah 3/431 Maktabah Syamilah)
Adanya kebersamaan dalam hal ini akan menjadikan umat ini menjadi
umat yang satu, dan tidak terpecah-belah. Jika setiap kelompok atau organisasi menentukan sendiri-sendiri
masalah ini, yang timbul adalah perbedaan dan perselisihan.
Oleh karenanya hal ini merupakan hak dari Imam atau Pemimpin yang
mengurusi kemaslahatan kaum Muslimin. Dan
Imam atau Pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah, karena merekalah
yang mengurusi dan mengatur permasalahan kaum Muslimin.
Syaikh
Al-Albani ketika mengomentari hadits ini juga menuturkan :
و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد
صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من
الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة رأي الفرد - و لو كان صوابا في وجهة نظره - في عبادة
جماعية كالصوم و التعبيد و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان
يصلي بعضهم وراء بعض و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من
نواقض الوضوء ، و منهم من لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ،
فلم يكن اختلافهم هذا و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام
الواحد ، و الاعتداد بها ، و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض
الآراء
“Dan inilah (mengikuti Imam dalam perkara penentuan awal Ramadhan,
Iedul Fitri dan Iedul Adha pent.) yang sesuai dengan syariat yang toleran, yang
tujuan dari syariat ini adalah mengumpulkan manusia dan menyatukan barisan
mereka, demikian pula menjauhkan mereka dari segala apa yang dapat
memecah-belah persatuan mereka yang terdiri dari pemikiran-pemikiran pribadi.
Maka syariat tidak menganggap pandangan perseorangan -meskipun benar menurut
pendapat orang tersebut- pada ibadah yang bersifat jama’iyyah (bersama-sama),
seperti puasa, penghambaan, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat
para sahabat -semoga Alloh meridhai mereka- sebagian dari mereka shalat
di belakang lainnya sedangkan diantara mereka terdapat perbedaan pendapat.
Sebagian berpendapat bahwasannya menyentuh wanita, anggota (kemaluan pent.) dan
keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu, sedang sebagian yang
lain tidak berpendapat demikian. Sebagian dari mereka shalat dengan tidak di
qashar ketika sedang safar, dan sebagian dari mereka mengqasharnya,.?
Perselisihan diantara mereka dalam masalah ini tidak menghalangi mereka untuk melakukan
shalat bersama-sama di belakang imam yang satu, dan menggenapkan shalat
tersebut bersama imam. Yang demikian itu di karenakan mereka mengetahui
bahwasanya perpecahan di dalam agama lebih buruk dari pada perbedaan dalam
sebagian pendapat” (Silsilah Shahihah 1/223 Maktabah Syamilah)
Itulah sikap para sahabat, meskipun mereka berbeda pendapat namun
ketika itu berkaitan dengan ibadah-ibadah jama’iyyah mereka sepenuhnya
menyerahkan kepada Imam. Ketahuilah bahwa perpecahan dalam agama itu buruk,.! [AR]*
ana setujuh dengan agan.
BalasHapussemoga semua organisasi yang menyatakan dirinya islam bisa bersatu padu