Apakah ketentuan dalam
berkurban sama dengan ketentuan dalam Hadyu (untuk haji tamattu’ dan haji
qiran), berkaitan dengan tempat penyembelihannya,.?
Jawab ;
Benar, ketentuan dalam
Kurban sama dengan ketentuan dalam Hadyu, di karenakan kurban yang di
syariaatkan di sembelih di tempat orang yang berkurban. Sesungguhnya Rasul ‘Shalallohu
‘alaihi wa Sallam menyembelih hewan kurbannya di Negerinya, dan menjelaskan
kepada sahabatnya dimana beliau mengeluarkan hewan kurban itu ke tempat shalat,
lalu menyembelihnya di sana dalam rangka menampakkan syiar Alloh. Adapun seruan
agar mengambil uang dari orang-orang (untuk di belikan hewan kurban) dan
menyembelih hewan-hewan kurban tadi di tempat yang jauh (dari orang yang
berkurban) adalah seruan yang bisa menghancurkan syiar ini dan
menyembunyikannya dari kaum Muslimin. Di karenakan manusia jika ia membawa
hewan kurbannya ke tempat lain (selain tempatnya sendiri) tidak akan tampaklah
syiar –penyembelihan- di negeri tersebut, serta akan gelaplah negeri tersebut
dari penyembelihan, padahal itu merupakan syiar Alloh.
Jika hal itu di lakukan
akan terlewatlah beberapa hal yang dianjurkan ;
Pertama ; Seorang
yang berkorban tidak bisa secara langsung menyembelih hewan kurbannya sendiri. Sesungguhnya
inilah yang afdhal dan termasuk sunnah, sebagaimana yang di kerjakan oleh -Nabi
Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- beliau menyembelih hewan kurbannya sendiri
dengan kedua tangan beliau -‘Alaihi as Shalatu wa As salam-.
Kedua ; Akan
terlewat sunnah memakan sebagian hewan kurbannya. Sesungguhnya Nabi -Shalallohu
‘alaihi wa Sallam- memerintahkan untuk makan sebagian hewan kurban,
sebagaimana yang telah di perintahkan oleh Alloh dalam firman-Nya ;
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ
“,.maka makanlah sebagian darinya (hewan
kurban) dan berilah makan orang-orang yang sengsara lagi faqir,.” (QS Al Hajj 28)
Ini merupakan perintah untuk makan dari setiap
sembelihan yang dengannya seseorang bisa mendekatkan diri kepada Alloh. Ketika Rasululloh
membawa hewan Hadyu beliau pada haji wada’ yaitu 100 ekor unta, beliau
menyembelih dengan kedua tangan beliau sendiri yang mulia sebanyak 63 ekor, dan
selebihnya beliau serahkan kepada Ali dan mewakilkan kepada beliau untuk
menyembelihnya, demikian pula mewakilkan kepada beliau untuk menyalurkan
dagingnya. Selain itu beliau juga memerintahkan agar setiap hewan diambil
beberapa -bagian potongan daging- lalu di masukkan panci dan di masak. Maka lantas
Nabi -Shalallohu
‘alaihi wa Sallam- memakan daging tersebut dan beliau juga meminum kuahnya (sebagaimana
hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim no. 1218)
Kita katakann ; Boleh
mewakilkan, seseorang mewakilkan kepada orang lain dalam penyembelihannya, akan
tetapi hewan kurbannya tadi haruslah dekat dengannya, di rumahnya, atau minimalnya
di negaranya. Ia menyaksikannya (penyembelihannya) dan ia makan dari dagingnya,
dan akan tampaklah denganya syiar-syiar agama. Serta ia mengetahui bahwasannya tujuan
dari penyembelihan itu bukanlah semata-mata untuk daging, sesungguhnya Alloh Ta’ala
berfirman ;
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ
دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya,.” (QS Al Hajj 37)
Dan Nabi -Shalallohu ‘alaihi
wa Sallam- berkata kepada orang yang menyembelih sebelum shalat Ied ;
فإنما هو لَحْمٌ قَدَّمَهُ لأهلِه
“Sesungguhnya itu hanyalah daging yang ia
berikan kepada keluarganya.” (HR Bukhori no.
965, 5545 dan Muslim no. 1961)
Dan beliau
bersabda kepada Abi Burdah -semoga Alloh memberikan ridha kepada
beliau- ;
شاتُكَ شاةُ لحمٍ
“Kambingmu itu adalah kambing
(untuk) daging.” (HR Bukhari 955, 983, 5556 dan
Muslim 1961)
Maka Nabi -Shalallohu
‘alaihi wa Sallam- (sebagaimana hadits diatas) membedakan antara kurban dan
daging biasa. Demikian pula para ulama mengatakan ; kalau seandainya seseorang
bersedekah dengan daging 100 ekor unta maka tidak akan mencukupi dari seekor
domba yang ia berkorban dengannya. Maka ini menunjukkan bahwasannya kurban itu
bisa mendekatkan diri kepada Alloh dengan menyembelihnya, sebelum seseorang itu
melihat manfaat dari dagingnya.
[Fatwa Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin yang termuat dalam Fatawa Ulama Al Balad Al Haram,
halaman 1020, terbitan Fahrusah Maktabah Al Malik Fahd Al Wathaniyah Atsnaa An
Nasyr]
Tambahan Faedah ;
Yang lebih utama adalah
menyembelih hewan kurban dengan tangan kita sendiri, demikian pula menyembelih
di tempat tinggal masing-masing. Adapun mengirimkan hewan kurban ke tempat lain
yang jauh, atau ke Negara yang lain maka terdapat khilaf dalam permasalahan ini
di kalangan para ulama. Sebagaimana di sebutkan oleh DR. Wahbah Zuhaili dalam
kitabnya Al Fiqhu Al Islami wa Adillatuhu.
Syaikh Shalih Munajjid juga
menyatakan bahwa sebagian ulama mu’ashirin (zaman ini) membolehkan hal
itu dengan catatan di tempat tersebut kaum Muslimin lebih membutuhkannya. Namun
tentu saja hal itu akan melewatkan sunnah-sunnah yang ada sebagaimana di
sebutkan oleh Syaikh Utsaimin di atas. Wallohu Ta’ala A’lam…
Versi Arabicnya sebagaimana di bawah ;
السؤال:
هل ينطبق على الأضحية ما ينطبق على الهدي بالنسبة لموضع ذبحها ؟
الجواب:
نعم؛ ينطبق على الأضحية ما ينطبق
على الهدي، ولأن الأضحية المشروع أن تكون في مكان المضحي، فإن الرسول صلى
الله عليه وسلم ذبح أضحيته في بلده، وبين أصحابه، حيث كان يُخْرَجُ بها إلى
المُصلَّى فيذبحها هناك إظهارًا لشعائر الله. والدعوة إلى أن تؤخذ الدراهم
من الناس وتذبح الضحايا في أماكن بعيدة: دعوة إلى تحطيم هذه الشعيرة
وخفائها على المسلمين؛ لأن الناس إذا نقلوا ضحاياهم إلى أماكن أخرى لم تظهر
الشعائر - الأضاحي - في البلاد، وأظلمت البلاد من الأضاحي، مع أنها من
شعائر الله.
ويفوت بذلك :
أولاً:
مباشرة المُضحِّي لذبح أُضحيته بنفسه؛ فإن هذا هو الأفضل والسنة، كما فعل
النبي صلى الله عليه وسلم؛ فإنه كان يذبح أُضْحِيَتَهُ بيدِه - عليه الصلاة
والسلام.
ثانيًا: يفوت بذلك سُنِّيةُ الأكل منها؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بالأكل من الأضاحي، كما أمر الله بذلك في قوله : {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ}
[الحـَـجّ: 28]؛ فإن هذا أمرٌ بالأكل من كل ذبيحة يتقرب بها الإنسان إلى
الله. ولَمَّا أَهْدَى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع مائةَ
بَدَنَة ذبح منها ثلاثًا وستين بيده الكريمة، وأعطى عليًا رضي الله عنه
الباقي فوكَّلَه في ذبحه، ووكَّلَه أيضًا في تفريق اللحم، إلا أنه أمر أن
يؤخذ من كل بَدَنَةٍ بَضْعَةٌ - أي قطعة من لحم - فجُعلت في قِدْرٍ،
فطُبِخَتْ، فأكل من لحمها وشرب من مَرَقِها[1] . وهذا يدل على تأكُّدِ أكلِ الإنسان مما أهداه من الذبائح، وكذلك مما ضحى به.
نحن نقول : إنه يجوز التوكيل؛ أن يوكَّل الإنسانُ من يذبح أضحيته، لكن لابد أن تكون الأضحية عنده وفي بيته أو في بلده على الأقل، يشاهدُها ويأكُل منها، وتظهر بها شعائرُ الدين، وليعلم أنه ليس المقصود من الأضاحي المادة البحتة وهي اللحم؛ فإن الله تعالى يقول : {لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ} [الحـَـجّ: 37].
والنبي صلى الله عليه وسلم قال فيمن ذبح قبل الصلاة : «فإنما هو لَحْمٌ قَدَّمَهُ لأهلِه»[2] ، وقال لأبي بُرْدَة رضي الله عنه : «شاتُكَ شاةُ لحمٍ»[3]؛ ففرَّق النبي صلى الله عليه وسلم بين الأضحية وبين اللحم. وأيضًا فإن العلماء يقولون : لو تصدق بلحم مائة بعير، فإنه لا يجزئه عن شاة واحدة يُضَحَّى بها. وهذا يدل على أن الأضحية يُتَقَرَّبُ إلى الله تعالى بذبحها، قبل أن ينظر إلى منفعة لحمها.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar