حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ
عَنْ أَبِى وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله
عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ
الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ،
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا »
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah,
telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mansur dari bapakku Wa’il dari
Abdullah -semoga Alloh meridhai beliau-, dari Nabi -Shalallohu
‘alaihi wa Sallam- beliau bersabda ;”Sesungguhnya ‘as shidqu’ itu membawa kepada ‘al birr’, dan ‘al birr’ membawa kepada Jannah (Surga), dan sesungguhnya seseorang berlaku jujur hingga ia di sebut
sebagai shiddiq. Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa pada sikap ‘fujuur’ dan
‘fujuur’ membawa ke Neraka, dan seseorang berperilaku dusta hingga di
sebut sebagai seorang pendusta.”
Hadits di
atas di sepakati oleh imam Bukhari dan imam Muslim atas keshahihannya. Makna
dari as shidqu adalah kesesuaian kabar dengan kenyataan. Ini pada
asalnya. Jika anda mengabarkan sesuatu dan kabar anda sesuai dengan kenyataan
maka ini di namakan as shidqu. Sebagaimana contoh, anda mengatakan kalau
hari ini adalah hari Ahad, dan memang benar jika hari ini adalah hari Ahad,
maka ini merupakan khobarun shidqun (kabar yang benar). Namun jika anda
katakana bahwa hari ini adalah hari Senin padahal sebenarnya hari ini merupakan
hari Ahad maka ini di namakan kadzib (dusta).
As shidqu dalam perbuatan adalah seseorang antara batin dan dhahirnya
sesuai, tidak bertentangan, yang mana apabila ia melakukan satu amalan tidak
bertentangan dengan batinnya. Maka orang yang riya’ (ingin
di lihat oleh orang lain) bukanlah orang yang shidiq, karena ia
menampakkan diri di hadapan manusia sebagai seorang hamba yang baik, namun
kenyataanya tidak demikian, karena tujuannya untuk di lihat manusia. Orang
Munafiq juga bukan orang yang shidiq, karena ia menampakkan
keimanan, sementara hatinya tidak beriman. Ia menampakkan di hadapan manusia
seolah ia Mukmin, shalat berjamaah, berpuasa, bersedekah dan lain sebagainya,
namun seluruh amalan itu bertentangan dengan hatinya.
Orang
Musyrik juga bukan orang yang shiddiiq, karena ia seolah-olah dhahirnya orang yang muwahhid (mentauhidkan
Alloh), namun kenyataanya tidak demikian. Ahli Bid’ah juga bukan termasuk
orang yang shidiq, karena seolah ia menampakkan ittiba kepada
Nabi -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- namun kenyataanya tidak demikian.
Nabi
menjelaskan {”Sesungguhnya
‘as shidqu’ itu membawa kepada ‘al birr’, dan ‘al birr’ membawa kepada Jannah (Surga),} al birr maknanya
adalah katsrotul khair (banyaknya kebaikan), diantaranya pula terdapat asma Alloh yaitu al
barru. Banyaknya kebaikan di sini merupakan buah dari kejujuran (as
shidqu), dan pelaku al birr –semoga Alloh menjadikan saya dan anda
termasuk di dalamnya- kebaikannya akan membawanya ke Surga.
As Shiddiiq merupakan derajat yang tinggi di sisi Alloh,
bahkan ia menempati urutan yang ke dua (2) setelah tingkatannya para Nabi, ini
sebagaimana yang telah di firmankan oleh Alloh Ta’ala ;
وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ
رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid,
dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS : An Nisaa : 69)
Derajat di atas tidaklah di capai kecuali oleh sedikit
orang, bisa oleh laki-laki bisa pula oleh wanita. Alloh berfirman ;
مَا الْمَسِيحُ
ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ
“Al
Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar,.” (QS : Al Maidah : 75)
Di jelaskan oleh Al Baghawi dalam tafsirnya, di namakan shiddiiqah
di karenakan ia membenarkan ayat-ayat Alloh, sebagaimana pula dalam firman
Alloh yang lain ;
وَصَدَّقَتْ
بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ
“,.dan
dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya,.” (QS : At Tahrim : 12)
Kemudian sabda Nabi {“Dan sesungguhnya kedustaan itu membawa pada
sikap ‘fujuur’ dan ‘fujuur’ membawa ke Neraka,.”}, makna dari fujuur adalah al
khuruuj ‘an thooatillah (keluar dari ketaatan kepada Alloh. Oleh karenanya
setiap perbuatan yang sifatnya kluar dari ketaatan kepada Alloh di katakan
perbuatan fujuur.
Perbuatan fajir yang paling besar adalah
kekufuran. Kufur merupakan perbuatan durhaka, sebagaimana firmanNya ;
أُولَئِكَ
هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
“Mereka
itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS : Abasa : 42)
Perbuatan mereka yang keluar dari ketaatan kepada Alloh
dan durhaka kepadaNya itulah yang membawa mereka ke Neraka. Alloh berfirman ;
وَإِنَّ
الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ
‘,,.dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar
berada dalam neraka.” (QS : Al Infithar : 14)
Bahkan catatan amal orang yang durhaka ini Alloh
tempatkan di Sijjiin, Alloh jelaskan dalam firmanNya ;
كَلَّا إِنَّ
كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ
“Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab
orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah kamu apakah sijjiin itu?.” (QS : Al Muthaffifiin : 7-8)
Al Baghawi membawakan perkataan dari Abdulloh Ibnu Umar, Qatadah dan juga Dhuhak dalam
tafsirnya, bahwa yang di maksid Sijjiin pada ayat di atas adalah lapis
bumi ke tujuh yang di dalamnya terkumpul arwah orang-orang kafir.
Dan sabda beliau {“dan seseorang berperilaku
dusta hingga di sebut sebagai seorang pendusta.”}, dusta merupakan perkara haram, bahkan sebagian ulama
menggolongkannya termasuk dosa besar karena Nabi memberikan ancaman bagi orang
pelakunya akan di tulis oleh Alloh di sisinya sebagai sorang pendusta. Diantara
contoh kedustaan besar sebagaimana kerap di lakukan banyak orang dan kita
saksikan di media-media elektronik seperti Televisi, yaitu seseorang membawakan
sebuah ungkapan dusta, dan bahkan ia sendiri mengetahui bahwa hal itu merupakan
kedustaan, namun karena ia ingin membuat orang lain tertawa kemudia ia
menyampaikannya. Na’udzubillah,...
Ketahuilah ini merupakan sebuah kedustaan,.!! Terdapat ancaman dari Nabi
berkenaan dengan hal ini, Nabi bersabda ;
وَيْلٌ لِلَّذِي
يُحَدِّثُ النَّاسَ كَاذِبًا لِيُضْحِكَهُمْ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Kebinasaan bagi orang yang berbicara kepada
manusia dengan kedustaan untuk membuat mereka tertawa, kebinasaan baginya,
kebinasaan baginya,..” (HR : Thabrani, dengan lafadz sedikit berbeda di riwayatkan oleh Abu Dawud,
Tirmidzi, Ahmad dan lainnya.)
Yang namanya dusta apapun bentuknya maka hukumnya haram,
dan kesemuannya membawa pada fujuur (keluar dari ketaatan kepada Alloh).
Namun sebagaimana dalam hadits Ummu Kultsum di kecualikan dalam tiga (3) hal, pertama
: dalam keadaan peperangan, kedua : untuk mendamaikan perselisihan,
dan ketiga : ucapan seorang isteri kepada suaminya (untuk
menyenangkanya) atau suami kepada isterinya. Akan tetapi juga sebagian ahli
ilmu menjelaskan bahwa tiga hal ini sifatnya adalah ‘tauriyah’ (hanya
permainan kata) bukan secara jelas.
[Maraji’ ; Syarhu Riyadhis Shalihin, Syaikh
Utsaimin, 1/289-297 terbitan Madarul Wathan-Riyadh, Ma’alimu At Tanziil,
karya Al Baghawi, tafsir surat Al Maidah ; 75 dan surat Al Muthaffifiin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar