Apakah untuk berhaji di
perlukan istikharah,.?
Jawab :
Istikharah itu di
syariatkan dalam semua perkara yang manusia itu ragu-ragu di dalamnya,
contohnya adalah apakah ia berhaji pada tahun ini ataukah tidak,.? Maka ia
beristikharah, jika kita katakan sesungguhnya haji tidaklah wajib segera di
tunaikan (seperti bekal yang sebenarnya belum mencukupi. Pent). Adapun jika
kita katakan bahwasannya haji itu wajib segera di tunaikan maka wajib pula
berhaji tanpa harus melakukan istikharah, demikian pula pada
perkara-perkara yang tidak memerlukan istikharah di dalamnya, seperti apabila
seseorang itu hendak melakukan shalat, atau seseorang itu hendak sarapan pagi
maka ia tidaklah perlu shalat istikharah sebelumnya. Istikharah itu hanya di
perlukan pada perkara-perkara yang manusia itu ragu-ragu di dalamnya. Oleh
karenanya di dalam bacaan istikharah kita seseorang membaca :
اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا
الأَمْرَ خَيْرٌ لِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى
“Ya Alloh,
jika Engkau mengetahui bahwasannya perkara ini baik untukku maka berikanlah
kekuatan kepadaku untuk melakukannya, serta mudahkanlah bagiku,.” (HR : Bukhari)
[Majmu’
Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (21/26) (16)]
Manakah
yang lebih utama, menikah dulu atau berhaji dulu,..?
Jawab :
Di
dahulukan menikah apabila seseorang itu merasa takut kesulitan akan menimpa
dirinya (fitnah. Pent) jika ia mengakhirkannya, seperti apabila seseorang itu
merupakan orang yang memiliki syahwat sangat kuat dan ia takut fitnah akan
menimpa dirinya jika ia mengakhirkan menikah, maka dalam hal ini menikah lebih
di dahulukan daripada berhaji ke Baitullah. Adapun apabila ia merupakan seorang
yang kuat, dan kesabaran untuk mengakhirkan menikah itu tidak menyulitkanya
(mampu menahan syahwat. pent) maka berhaji itu lebih di dahulukan. Ini jika
hajinya adalah haji yang wajib (belum pernah haji. Pent), namun jika hajinya
adalah haji sunnah (yang ke dua dan seterusnya) maka menikah itu lebih di
dahulukan, entah ia adalah orang yang bisa menahan syahwatnya ataupun tidak.
Yang demikian itu di karenakan menikah itu lebih utama daripada ibadah yang
hanya bersifat sunnah, sebagaimana yang di jelaskan oleh ahli ilmu.
[majmu’
Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (21/72) (70)]
Sudahkah
mencukupi haji yang di lakukan seseorang sebelum masa baligh,.?
Jawab :
Haji
seseorang yang di lakukan semasa belum baligh belumlah mencukupi, ia harus
melakukan haji untuk ke dua kalinya. Di karenakan haji yang pernah di
lakukannya sebelum baligh di hitung sebagai haji sunnah, bukan menggugurkan
yang wajib. Haji yang di lakukan seseorang ketika sudah berislam dengan
sempurna maka itulah haji yang wajib. Maka hendaknya ia melakukan haji untuk ke
dua kalinya, yang pertama di hitung sebagai tathawwu’an (sunnah).
[Majmu’
Fatawa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin (21/78) (79)]
Apakah
wajib bagi orang tua untuk menghajikan anak-anaknya,.?
Jawab :
Ibadah haji
tidaklah wajib bagi seseorang yang tidak memiliki harta untuk bekal, meskipun
orang tuanya adalah orang kaya, tidak boleh baginya meminta harta kepada orang
tuanya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan sebagian ulama mengatakan : “Jika kedua
orang tuamu memberimu harta untuk melakukan ibadah haji maka hendaknya engkau
tidak menerimanya, wajib bagimu untuk menolaknya, dan katakan : Saya tidak
berniat haji, hal itu belum wajib atasku.”
Dan
sebagian lagi mengatakan : Jika seseorang (baik itu ayahmu atau saudaramu)
memberikanmu harta untuk berhaji maka hendaknya engkau menerimanya dan berhaji
denganya. Adapun jika yang memberikanya adalah orang lain yang engkau takutkan
akan menyebut-nyebut pemberianya atasmu kelak di kemudian hari maka hendaknya
engkau tidak menerimanya. Dan inilah
pendapat yang benar.
Dan
masalahnya di sini adalah apabila seseorang di beri harta oleh orang lain untuk
menunaikan ibadah haji dengan harta tersebut apakah hendaknya ia menerimanya
dan berhaji denganya,.? Jawabanya adalah : Hendaknya ia tidak menerima harta
tersebut dan menolaknya, ditakutkan di kemudian hari orang yang memberi harta
tersebut mengungkit-ungkit pemberian hartanya di sebabkan memang pada dasarnya
ia belum memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji karena belum mampu
secara financial. Namun jika yang memberi harta itu adalah orang tua ataupun
saudaranya maka kita katakana di sini : Ambilah harta tersebut dan berhajilah
denganya, karena orang tuamu tidak akan mengungkit-ungkit pemberiannya
terhadapmu.
Dan kepada al
akh yang bertanya di sini kita katakana : Tunggulah sampai Alloh memberikan
kecukupan kepadamu hingga engkau bisa menunaikan ibadah haji dengan hartamu
sendiri, dan engkau tidak berdosa mengakhirkan haji karena ketidakmampuanmu.
[Al Liqo As
Syahri (16/22)]
Hukum orang
yang di hajikan oleh Muassasah (Yayasan),.?
Bagi orang
yang di hajikan oleh yayasan tempatnya bekerja, sah-kah hajinya,.?
Jawab :
Bagi orang
yang di hajikan oleh yayasan tempatnya bekerja, haji yang semacam ini SAH. Boleh
bagi seseorang menerimanya (dihajikan oleh yayasan atau perusahaan tempatnya
bekerja). Dalam masalah ini biasanya tidak akan muncul minnah (mengungkit-ungkit
pemberian) di karenakan ini merupakan kebijakan perusahaan yang berlaku sama
antara seseorang dengan yang lain.
Adapun
apabila yang memberikan sedekah (menghajikan) adalah orang tertentu (bukan
muassasah) maka hendaknya ia tidak menerimanya, di karenakan di takutkan kelak
di kemudian hari akan di ungkit-ungkit, seperti ungkapan : “Akulah yang telah
menghajikanmu,.!” Ataupun ungkapan-ungkapan semisal lainnya.
‘Ala kulli
hal, orang yang menerima pemberian harta
sedekah orang lain untuk menunaikan haji dengannya maka tidaklah mengapa, akan
tetapi sebagaimana yang telah kami sampaikan, jika pemberian itu dari orang
tertentu (bukan yayasan atau perusahaan tempat bekerja atau semisal) maka yang
lebih utama adalah TIDAK MENERIMA PEMBERIAN SEDEKAH ITU. Adapun jika
dari perusahaan terlebih hal itu merupakan peraturan perusahaan maka TIDAK
MENGAPA.
[Fatawa
Nurun ‘Ala Ad Darb (1/276)]
Gugurkah
kewajibah haji seorang wanita yang tidak memiliki mahrom,.?
Jawab :
Jika
seorang wanita tidak memiliki mahram yang menemaninya untuk melakukan haji maka
haji itu tidak menjadi wajib atasnya, alias gugur. Hal itu di sebabkan ia
dianggap tidak mampu secara syara’, sedang haji itu hanyalah wajib bagi
orang yang mampu. Maka tidak boleh baginya untuk menunaikan haji tanpa makhram,
baik itu dengan bibi dari ayah maupun dari ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar