
Adzan di mulai di
syariatkan pada tahun pertama hijriyah, pada saat itu Nabi dan para sahabat
bermusyawarah mengenai bagaimana membuat sebuah pertanda akan sudah masuknya
waktu shalat. Kemudian Abdullah Ibnu Zaid menceritakan perihal mimpinya kepada
Nabi Shalallohu ‘alaihi wa Sallam sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh
Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah.
Mendengar apa yang di
ceritakan oleh Abdulloh Ibnu Zaid di atas Nabi pun kemudian menyetujuinya. [[1]]
Beliau lantas menyuruh agar hal tersebut di ajarkan kepada Bilal, kemudian ia
pun beradzan dengan lafadz-lafadz tersebut.[[2]]
Al-Qur’an pun
menetapkan adanya adzan, yaitu pada firman Alloh Ta’ala :
“Hai orang-orang beriman, apabila kalian
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli,.” (QS
: Al-Jumuah : 9)
Demikian
juga pada firman Alloh Ta’ala ;
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk
(mengerjakan) shalat,.” (QS
: Al-Maidah : 58)
Hukum Adzan
Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa Para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai hukum adzan, apakah ia
merupakan sesuatu yang wajib atau hanya sunnah muakkadah. Dan apabila hukumnya
wajib apakah wajib yang sifatnya mutlak untuk untuk semua ataukah wajih kifayah
saja,.?
Riwayat yang bersumber
dari Imam Malik mengatakan bahwa adzan hukumnya wajib pada masjid-masjid besar.
Namun beliau tidak mewajibkanya, dan tidak
pula menganggap hal itu sunnah pada orang yang shalat bersendirian.
Sebagian Ahlu Ad
Dhahir mengatakan Adzan hukumnya wajib mutlak untuk untuk semua (baik
berjamaah ataupun ketika bersendirian), sebagian lagi mengatakan wajib untuk
yang shalat berjamaah saja, baik dalam keadaan safar maupun mukim.
Sedangkan Imam Syafi’i
sepakat dengan Imam Abu Hanifah bahwasanya adzan hukumnya sunnah untuk orang
yang shalatnya bersendirian maupun berjamaah, namun lebih di tekankan (sunnah
muakkadah) kepada orang yang shalatnya berjamaah.
Perkataan Ibnu Qudamah
mengenai hal ini sebagaimana berikut ; “Barang siapa yang shalat tanpa adzan
kami membencinya, namun ia tidak perlu untuk mengulangi shalatnya.”
Beliau juga mengatakan
: “Makruh hukumnya meninggalkan adzan untuk shalat lima waktu, di karenakan
Nabi -Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- dalam shalat-shalat beliau dengan
adzan dan iqamah, beliau juga memerintahkan para sahabat melakukanya, demikian
juga para Imam pun mengerjakanya.”
Pendapat yang benar
dalam masalah ini adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama bahwasanya
adzan hukumnya adalah sunnah, demikian juga iqamah [[3]],
maka meninggalkanya tidaklah merusak shalat, dengan kata lain shalat tetap sah
tanpa keduanya.[[4]]
Namun perlu di ingat
meskipun hukumnya sunnah, adzan merupakan syiar Islam yang nyata, bahkan hal
itu menjadi pertanda sebuah Negara akan di perangi atau tidak. Maka hal itu
sangat di tekankan, dan hendaknya tidak di tiadakan. [[5]]
Sifat Adzan
Ulama juga berbeda
pendapat dalam masalah sifat adzan. Ada empat sifat sebagaimana yang di yakini
oleh para ulama, yaitu :
-
Sifat yang
pertama
Bertakbir
dua kali (Allohu Akbar), syahadat
masing-masing empat kali (Asyhadu Allaa ilaha illallohu dan Asyhadu
anna Muhammadan Rasululloh), kemudian lafadz yang lain maka tatsniah (masing-masing
dua kali kecuali lafadz Laa ilaha illallohu). Ini merupakan madzhab Ahli
Madinah, yaitu Imam Malik dan yang lainya. Namun para pengikut madzhab ini
yang mutaakhirun mengatakan dalam ucapan syahadat yang dua kali di
ucapkan secara sir, kemudian dua lagi di keraskan. Ini di namakan “tarjii’”.
-
Sifat yang ke
dua
Adalah
sifat adzan “al Makiyyiin” (penduduk Makkah). Inilah yang di pilih oleh Imam
Syafi’i, yaitu bertakbir yang pertama empat kali (Allohu Akbar), dan syahadat empat kali pula (Asyhadu
Allaa ilaha illallohu dan Asyhadu anna Muhammadan Rasululloh),
sedang lafadz yang lain maka masing masing dua kali (kecuali lafadz Laa
ilaha illallohu)
-
Sifat yang ke
tiga
Adalah
sifat adzan “al Kuufiyyiin” (penduduk Kuufah), ini pula yang di yakini Imam Abu
Hanifah yaitu bertakbir yang pertama sebanyak empat kali (Allohu Akbar)
dan tatsniah (dua kali) pada sisa lafadz yang lain (kecuali lafadz Laa
ilaha illallohu).
Inilah
sifat yang lazim di gunakan di negeri kita Indonesia, yaitu sebagaimana madzhab
Imam Abu Hanifah dalam masalah ini.
-
Sifat yang ke
empat
Adalah
sifat adzan “al Bashriyyiin” (penduduk Bashrah) yaitu bertakbir yang pertama
sebanyak empat kali (Allohu Akbar), kemudian syahadat masing sebanyak
tiga kali (Asyhadu Allaa ilaha illallohu dan Asyhadu anna Muhammadan
Rasululloh), kemudian ucapan Khayya ‘ala asshala dan Khayya ‘alal
falah masing-masing sekali, kemudian bertakbir dua kali dan di tutup dengan
ucapan Laa ilaha illallohu.
Khilaf
dalam masalah adzan ini dengan kesemua sifat di atas sebagaimana di sebutkan
oleh Ibnu Rusyd boleh di kerjakan. Demikian pula yang
berkeyakinan adanya “tarjii’” dalam adzan. Kesemuanya shahih dari Nabi
Shalallohu ‘alaihi wa Sallam. [[6]]
Waktu Adzan
Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa ulama sepakat dalam permasalahan waktu adzan, yaitu tidak boleh di
kerjakan sebelum masuk waktu shalat. Kecuali waktu shalat subuh, maka di
dalamnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan
boleh dan ada yang melarang.
Ibnu Qudamah merinci
permasalahan ini sebagai berikut ;
-
“Dalam
permasalahan adzan sebelum masuk waktu shalat tidaklah diperbolehkan, kecuali
pada saat shalat subuh, dalam hal ini kami tidak mengetahui adanya khilaf.
Inilah yang di sepakati oleh para ahli ilmu bahwa termasuk sunnah (petunjuk
Nabi) adzan setelah masuk waktu shalat, kecuali adzan subuh. Dan karena adzan
disyariatkan untuk mengumumkan telah masuknya waktu shalat maka tidak di
perbolehkan di kerjakan sebelum tiba waktunya. Jika di lakukan maka akan keluar
dari maksud di syariatkannya.”
-
“Di syariatkan
adzan sebelum tiba saatnya pada saat adzan subuh. Ini merupakan pendapat Imam
Malik, Al Auzai, imam Syafi’i dan Ishak. Adapun Atsauri, Imam Abu Hanifah, dan
Muhammad bin Hasan melarangnya.” [[7]]
Namun
bagi yang berkeyakinan akan bolehnya adzan sebelum waktu subuh hendaknya ia
mengulangi adzan pada saat tiba waktu subuh. [AR]
[1]
. Lihat Al Mulakhos Al Fiqh Syaikh Fauzan, 1/69 Darul Aqidah cat. Ke 2
[2]
. Dengan redaksi hadits yang sama sebagaimana di atas
[3]
. Di karenakan iqamah juga merupakan adzan, yaitu adzan yang ke 2. Ini
berdasarkan hadits Nabi :
بَيْنَ
كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ
“Diantara dua adzan (adzan dan iqamah) terdapat
shalat sunnah,.” (HR : Bukhari)
[4]
. Muqarrar Madah Fiqhul Ibadat 1 hal 317-318, Al-Madinah International
University
[5]
. Lihat Al Mulakhos Al Fiqh Syaikh Fauzan, 1/70 Darul Aqidah cat. Ke 2
[6]
. Muqarrar Madah Fiqhul Ibadat 1 hal 314-315, Al-Madinah International
University
[7]
. Al Mughni Ibnu Qudamah 1/455
Darul Fikri Beirut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar