Rabu, 23 Desember 2009

Tradisi Mandi Bulan Suro


Sering kali kita melihat sebuah fenomena di masyarakat ketika memasuki bulan Suro (Muharrom) mereka berbondong-bondong mendatangi tempat pemandian yang dianggap bisa mendatangkan berkah, kemudian mereka beramai-ramai mandi disitu. Apalagi masyarakat yang masih kental dengan tradisi adat kejawen, mereka sangat antusias dan sangat mengagungkan bulan ini. Ini mungkin tidak lepas dari sedikitnya pemahaman mereka akan syari’at yang mulia ini dan anggapan mereka seputar bulan Muharrom sebagaimana sebuah hadits yang panjang, yang sebagian dari kutipan redaksinya adalah sebagai berikut :
“Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyuro maka dia tidak akan sakit pada tahun itu, dan barang siapa yang bercelak pada hari ‘Asyuro dia tidak akan belekan pada tahun itu,.” Dan masih banyak lagi keutamaan lain yang disebutkan pada hadits ini.
Lantas bagaimanakah sebenarnya kedudukan hadits ini menurut para ulama,.? Mari coba kita simak uraian berikut ini, :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya perihal apa yang banyak dilakukan manusia pada hari ‘Asyuro yaitu mandi, bercelak, menggunakan pacar (inai) saling berjabat tangan, memasak gandum, dan menunjukkan kesenangan (bergembira –pent.) pada hari itu, dan yang lainnya. Apakah ada hadits yang shohih dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengenai hal itu,.? Dan apabila tidak terdapat satupun hadits yang shohih berkenaan dengan hal tersebut, apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan bid’ah atau tidak,.?
Jawaban beliau :
“Tidak ada satupun hadits shohih dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkaitan dengan hal tersebut, tidak pula dari sahabat beliau, dan tidak satupun Imam-pun dari kaum muslimin tidak pula imam yang empat menyukai perbuatan-perbuatan tersebut, tidak pula selain mereka. Tidak pula pengarang kitab-kitab hadits yang diakui meriwayatkan tentang hal itu, tidak dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula dari kalangan sahabat, tidak dari tabi’in, yang shohih maupun yang dho’if, tidak pada kitab-kitab yang shohih, tidak dalam kitab-kitab sunan, tidak pula dalam sanad-sanad. Hadits-hadits ini sama sekali tidak dikenal pada masa kurun al-mufaddhilah (3 masa terbaik). Akan tetapi sebagian mutaakkhirin (orang-orang periode akhir) meriwayatkan hadits-hadits tersebut, semisal : “Barang siapa yang bercelak pada hari ‘Asyuro dia tidak akan belekan pada tahun itu, dan barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyuro maka dia tidak akan sakit pada tahun itu,.” dan yang semisal dengan itu.
Mereka mutaakkhirin meriwayatkan juga tentang keutamaan sholat pada hari ‘Asyuro, mereka juga meriwayatkan bahwa pada hari ‘Asyuro adalah hari bertaubatnya Nabi Adam, dan hari berlabuhnya kapal Nabi Nuh diatas Juudi (nama sebuah bukit), juga hari dimana Nabi Yusuf kembali kepada bapaknya Nabi Ya’kub, juga hari dimana Nabi Ibrohim selamat dari api, juga hari pengorbanan dengan kambing dan yang lainnya. Mereka juga meriwayatkan pada hadits maudhu’ (palsu) makdhub (didustakan) atas nama Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya :
مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ

“Barang siapa yang bermurah hati pada keluargannya pada hari ‘Asyuro maka Alloh akan bermurah hati kepadanya sepanjang tahun.”

“Dan bahwasanya semua riwayat ini dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah dusta, akan tetapi hal ini dikenal dari riwayat Sufyan bin ‘Uyainah dari Ibrohim bin Muhammad bin Muntasyir dari bapaknya,.” [1]

Ibnul Jauzi juga memberikan komentar terhadap hadits ini :

هذا حديث لا يشك عاقل في وضعه ولقد أبدع من وضعه وكشف القناع ولم يستحيى وأتى فيه المستحيل وهو قوله: وأول يوم خلق الله يوم عاشوراء، وهذا تغفيل من واضعه لانه إنما يسمى يوم عاشوراء إذا سبقه تسعة.

“Hadits ini tidak diragukan lagi akan kepalsuannya secara akal, sungguh orang yang memalsukannya telah membuat bid’ah, membongkar kedoknya sendiri, dan dia tidak malu membuat sebuah kemustahilan didalamnya, yaitu perkataannya : “Hari yang pertama kali diciptakan oleh Alloh adalah hari ‘Asyuro”, ini sebuah kelalaian dari kepalsuannya, adapun hari itu dinamakan hari ‘Asyuro apabila telah berlalu baginya sembilan hari.” [2]

Ini juga dipertegas oleh Lajnah Da’imah dengan memberikan penjelasan bahwa :

جميع الأحاديث الواردة في الاغتسال يوم عاشوراء والكحل والخضاب وغير ذلك مما يفعله أهل السنة يوم عاشوراء ضد الشيعة فهو موضوع ما عدا الصيام

“Semua hadits yang ada tentang mandi pada hari ‘Asyuro, bercelak, mewarnai (dengan inai –pent.) dan yang lainnya dari apa-apa yang tidak dilakukan oleh Ahlu Sunnah pada hari ‘Asyuro kecuali oleh Syi’ah adalah palsu, terkecuali hadits tentang puasa.” [3]

Kesimpulan

Dengan melihat berbagai pendapat ulama diatas maka dapat kita simpulkan bahwa :

- Tradisi mandi pada hari ‘Asyuro, atau ketika bulan Suro tiba yang banyak dilakukan oleh manusia sekarang ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak pula oleh sahabat Rodhiyallohu ‘anhum dan juga para ulama ahli ilmu.

- Perbuatan tersebut tergolong perbuata bid’ah yang menyesatkan, dan pelakunya adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah), dikarenakan tidak tidak memenuhi dua syarat diterimanya amal, yaitu Ittiba’ dan Ikhlas.

- Perbuatan tersebut juga bisa mengakibatkan pelakunya tergelincir dalam kesyirikan, apabila disertai dengan keyakinan-keyakinan yang bisa menghancurkan pondasi aqidah.

- Semua hadits yang menjelaskan keutamaan mandi pada bulan Suro (Muharrom) adalah maudhuu’ (palsu), juga yang berkenaan dengan memakai celak, mewarnai dengan inai, dan memasak gandum sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam.


1. Al-Fatawa al-Kubro juz 1 halaman 194 Maktabah Syamilah
2. Al-Maudhuu’aat juz 2 halaman 201 Maktabah Syamilah
3. Fatwa lajnah Da’imah yang terdapat dalam Website “alifta.com”, dengan link : http://alifta.com/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=154&PageNo=1&BookID=12

Wallohu waliyyut taufiq,..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

ABU RUQOYYAH Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template | Supported by denkhoir