Senin, 19 Juli 2010

Janganlah Mudah Menghukumi “Kafir”,..!!


وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ


"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)

Sering kali kita mendengar perdebatan permasalahan seputar ayat yang mulia ini, bahkan sebagian dari kita tidak segan-segan untuk menghukumi saudaranya yang lain dengan hukum “kafir” berdalil dengan ayat ini. Lantas bagaimanakah sebenarnya pandangan ulama dalam menjelaskan ayat ini.? Kita coba simak uraian singkat berikut ini,..


Sebab Turunnya Ayat

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwasannya : “Yang benar (tentang ayat ini) turun berkenaan dengan dua orang Yahudi keduannya berzina, dan mereka (orang-orang Yahudi) telah merubah kitab Alloh (Taurot) yang ada pada mereka mengenai perkara “rajam” bagi pezina yang telah menikah di antara mereka, lantas mereka merubahnya dengan seratus kali cambukan, dimandikan (disiram), dan dinaikkan diatas keledai dengan posisi di balik (dijungkir). Maka ketika terjadi kejadian tersebut setelah hijrohnya Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mereka mengatakan di kalangan mereka : “Mendekatlah kalian semua hingga kita memutuskan (perkara ini) pada-nya (Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam), jika dia menghukumi dengan cambukan, dan dimandikan (disiram) ambilah oleh kalian hukum darinya, serta jadikanlah dia hujjah diantara kalian dan Alloh, dan Nabi dari para Nabi Alloh sungguh telah menghukumi diantara kalian dengan demikian itu, dan jika dia menghukumi dengan “rajam” maka janganlah kalian mengikutinya. [1]

Penjelasan Ayat

Ibnul Jauzi mengatakan :”Adapun firman Alloh ta’ala وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ dan firman Alloh Ta’ala setelahnya { فأولئك هم الظالمون } { فأولئك هم الفاسقون } maka ulama berbeda pendapat pada siapa ayat ini turun, ada lima pendapat mengenai hal ini :

Pendapat yang pertama : bahwa ayat ini turun khusus untuk orang-orang yahudi, diriwayatkan oleh Ubaid bin Abdillah dari Ibnu Abbas, seperti ini pula Qotadah mengatakan.

Pendapat yang ke dua : bahwasannya ayat ini turun untuk kaum muslimin, Sa’id Ibnu Jabir meriwayatkan dari Ibnu Abbas semisal makna ini.

Pendapat yang ke tiga : bahwasannya ayat ini umum, untuk kaum Yahudi dan untuk ummat ini, yang mengatakan hal ini adalah Ibnu Mas’ud, al-Hasan,an-Nakh’I dan as-Sudiy.

Pendapat yang ke empat : bahwasannya ayat ini turun untuk kaum Yahudi dan Nashoro (Nasrani), yang mengatakan hal ini adalah Abu Mujliz.

Pendapat yang ke lima : bahwasannya yang pertama adalah untuk kaum muslimin, yang ke dua untuk kaum Yahudi, sedangkan yang ke tiga adalah untuk kaum Nashoro, yang mengatakan hal ini adalah as-Sya’bi.
Dan yang dimaksud dengan “kufur” yang disebutkan pada ayat pertama (yang disebutkan diatas) ada dua pendapat :

Pendapat pertama : kufur kepada Alloh Ta’ala

Pendapat ke dua : kufur terhadap hukum tersebut, dan bukanlah kufur yang bisa mengeluarkan dari millah (agama). Al-Khottob merincinya sebagaimana berikut : “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh karena mengingkarinya (hukum Alloh), padahal dia mengetahui bahwasannya Alloh telah menurunkannya sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi maka dia kafir, dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh dikarenakan dia condong mengikuti hawa nafsunya tanpa mengingkarinya maka dia termasuk orang yang dholim dan fasiq. Ali bin Abi Tholhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya beliau mengatakan : “Barang siapa yang mengingkari apa yang telah di turunkan oleh Alloh maka dia kafir, dan barang siapa yang menetapkannya (meyakininya) dan dia tidak berhukum dengannya maka dia fasiq dan dholim.” [2]

Kita perhatikan saudaraku sekalian ucapan dari al-Khottob diatas, bahwa yang di hukumi sebagai kafir adalah orang yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Alloh disertai dengan pengingkaran dalam hatinya akan hukum Alloh tersebut, adapun orang yang tidak berhukum dengan hukum Alloh akan tetapi tidak di sertai rasa pengingkaran dalam hatinya, serta masih meyakini bahwasannya hukum Alloh itu lebih baik, lebih sempurna, dan lebih berhak untuk di terapkan daripada hukum buatan manusia meskipun dia tidak berhukum dengannya, maka dia tidak di hukumi sebagai kafir, akan tetapi dholim atau fasiq. Jadi ada perbedaan hukum antara keduanya.

Hal senada juga dikatakan oleh Ikrimah :

قوله { وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله } إنما يتناول من أنكر بقلبه وجحد بلسانه ، أما من عرف بقلبه كونه حكم الله وأقر بلسانه كونه حكم الله ، إلا أنه أتى بما يضاده فهو حاكم بما أنزل الله تعالى ، ولكنه تارك له ، فلا يلزم دخوله تحت هذه الآية ، وهذا هو الجواب الصحيح والله أعلم .

“Firman Alloh { وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ الله} ini hanyalah mencakup bagi orang yang mengingkari dengan hatinya dan lisannya, sedangkan orang yang meyakini dengan hatinya bahwasanya itu adalah hukum Alloh serta mengikrarkan dengan lisannya, hanya saja perbuatannya adalah dengan kebalikannya (dia berhukum dengan hukum selain hukum Alloh) maka dia adalah orang yang berhukum dengan hukum Alloh, akan tetapi dia meninggalkannya, maka dia tidaklah boleh dimasukkan dalam cakupan ayat ini, dan inilah jawaban yang benar. Walloh a’lam.” [3]

Imam as-Syinqiti mengatakan :

فأما من فعل ذلك ، وهو معتقد أنه مرتكب محرمٍ فهو من فساق المسلمين وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه ، وإن شاء غفر له .

“Adapun orang yang melakukan perbuatan tersebut (berhukum dengan hukum selain hukum Alloh) sedangkan dia meyakini di dalam hatinya bahwasanya dia telah melakukan perbuatan harom maka dia termasuk orang mukmin yang fasiq, dan perkaranya ada pada Alloh Ta’ala, jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengadzabnya, dan jika Alloh menghendaki maka Alloh akan mengampuninya.” [4]

Maka kecerobohan sebagian orang yang mereka mudah sekali memberikan vonis “kafir” kepada saudarannya hanya dikarenakan dia tinggal di Negara yang tidak menggunakan hukum yang telah diturunkan oleh Alloh adalah salah, dikarenakan dia tidak mengetahui apakah orang yang dia tuduh sebagai “kafir” tersebut dalam hatinya mengingkari hukum Alloh atau tidak. Ini adalah perkara ghoib yang hanya Alloh yang mengetahuinya.

Faedah ayat

Berdasarkan penjelasan beberapa ulama diatas maka bisa kita dapatkan pelajaran :

1. Pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama mengenai makna “kufur” pada ayat diatas adalah kufur terhadap hukum, dan bukan kufur yang dapat mengeluarkan dari agama. Hal ini jika tidak disertai pengingkaran di dalam hati terhadap hukum Alloh.

2. Meskipun seorang mukmin itu berhukum dengan hukum selain hukum Alloh, atau seorang mukmin itu tinggal di sebuah Negara yang Negara tersebut tidak berhukum dengan hukum Alloh, sedangkan di dalam hatinya masih mengakui bahwa hukum Alloh adalah yang paling sempurna, dan mengingkari hukum selain hukum Alloh maka orang tersebut tidak boleh disebut sebagai “kafir” berdasarkan ayat ini.

3. Hendaknya kita tidak mudah untuk memberikan vonis “kafir” terhadap saudara kita, dikarenakan bisa jadi hal tersebut kembali kepada kita apabila orang yang kita vonis tidaklah demikian. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam :

مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ , أَوْ قَالَ : عَدُوَّ اللهِ, وَ لَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

"Barang siapa yang menyeru kepada seseorang dengan sebutan kekafiran atau ia mengatakan: Wahai musuh Allah, sementara yang dituduhnya itu tidak demikian maka sebutan tersebut kembali kepadanya.” [5]

Wallohu a’lam


1. Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 113 Maktabah Syamilah
2. Zadul Masiir (Ibnul Jauzi) juz 2 halaman 215 Maktabah Syamiah
3. Mafatikhul Ghoibi (Ar-Rozi) juz 6 halaman 68 Maktabah Syamilah
4. Tafsir as-Syinqiti (Mukhtashoru as-Syamail al-Muhammadiyah) halaman 431 Maktabah Syamilah
5. Shohih Muslim Hadits No. 93 Maktabah Syamilah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

ABU RUQOYYAH Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template | Supported by denkhoir