
Mengenai dalil
pensyariatannya, maka cukup banyak kita dapatkan sabda Nabi mengenai hal ini.
Diantaranya adalah ;
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ
بَيْنَ يَدَيْهِ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasululloh
-Shalallohu ‘alaihi wa Sallam- bersabda ; “Apabila salah seorang diantara
kalian shalat maka janganlah ia membiarkan seorangpun lewat di depannya,
apabila ia enggan maka perangilah ia, karena bersamanya syaithan.” (HR : Muslim)
Adapun Imam Bukhari beliau meriwayatkan dengan lafadz
:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ النَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ
يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ
فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap
sesuatu yang menutupinya dari manusia (sutrah), lantas ada orang ingin lewat di
depannya (antara dia dengan sutrah) maka hendaknya ia menahannya, dan jika
orang tersebut enggan hendaknya ia memeranginya.” (HR : Bukhari)
Pengertian Sutrah
Sutrah maknanya adalah
apa saja yang di letakkan di depan orang yang shalat baik itu kursi, tongkat,
dinding, tempat tidur ataupun yang lainnya untuk menghalangi orang yang lewat
di depannya. [[1]]
Hukum Sutrah
Mengenai hal ini para
ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat wajib, dan ada yang berpendapat mandub
(sunnah).
Diantara Yang Berpendapat
Bahwa Sutrah Itu Wajib
Adalah Asy Syaukani,
beliau menjelaskan dalam Nailul Authar (4/204) ketika menjelaskan hadits
yang di riwayatkan oleh Abu Dawud ;
قَوْلُهُ : ( فَلْيُصَلِّ إلَى سُتْرَةٍ ) فِيهِ أَنَّ
اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِبٌ ، وَيُؤَيِّدُهُ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْآتِي
، وَحَدِيثُ سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ الْجُهَنِيِّ عِنْدَ الْحَاكِمِ ، وَقَالَ :
عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ بِلَفْظِ { لِيَسْتَتِرْ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ وَلَوْ
بِسَهْمٍ
{
“Sabda Nabi {“maka
hendaknya ia shalat menghadap sutrah”}, ini menunjukkan bahwasanya
mengambil sutrah itu hukumnya wajib, dan hal ini di kuatkan oleh hadits
Abu Hurairah berikut, juga hadits Sabrah bin Ma’bad Al Juhaniy yang di
riwayatkan oleh Al Hakim, dan ia berkata : menurut syarat Imam Muslim dengan
lafadz {“jika kalian shalat hendaknya bersutrah meskipun hanya dengan anak
panah”}
Demikian pula Syaikh Al
Albani di dalam Shifatu Shalati an Nabiyyi halaman 82, beliau membuat
salah satu judul ‘As Sutrah Wa Wujubuha’. Ini menunjukkan bahwa pendapat
beliau mengenai sutrah adalah wajib.
Beliau juga berkata
dalam Tamamul Minnah pada halaman 300 ;
وإن مما يؤكد وجوبها أنها سبب شرعي لعدم بطلان الصلاة بمرور
المرأة البالغة والحمار والكلب الأسود ، كما صح ذلك في الحديث...
“Diantara yang
menguatkan bahwasanya hukum sutrah itu wajib adalah tidak batalnya shalat
seseorang apabila di lewati (di belakang sutrah) wanita baligh, keledai dan
anjing hitam, sebagaimana hadits shahih mengenai hal ini,.”
Dan menurut Syaikh Al
Albani juga ini merupakan dhahir dari perkataan Ibnu Hazm di dalam Al
Muhalla (14/8-14).
Dalil Ulama Yang
Berpendapat Sutrah Itu Wajib
- Adanya hadits nabi yang menyatakan perintah untuk mengerjakannya, yaitu {“Janganlah kalian shalat kecuali menghadap sutrah”}, dan pada asalnya perintah itu menunjukkan wajib selama tidak adal dalil yang menunjukkan sebaliknya mengenai perkara itu.
- Jika
Nabi melakukan shalat di tempat lapang maka beliau menancapkan tombak dan
manusia shalat di belakang beliau. Dan kadang-kadang beliau menempatkan
tunggangan beliau di depannya lalu beliau shalat menghadapnya, sebagaimana
hadits yang di sepakati Imam Bukhari dan Imam Muslim.
- Rasululloh tidak membiarkan apapun lewat di depan beliau, sebagaimana sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Thabrani, dan juga Al Hakim, beliau menshahihkannya ;
كان
يصلي إذ جاءت شاة تسعى بين يديه فساعاها حتى ألزق بطنه بالحائط [ ومرت من ورائه]
“Nabi sedang shalat, tiba-tiba datanglah domba dan berusaha
lewat di hadapan beliau, maka lantas beliau menghalanginya hingga perut beliau
menempel tembok [dan domba itu akhirnya lewat di belakang beliau] [[2]]
Diantara Ulama Yang
Berpendapat Sutrah Hukumnya Tidak Wajib
Adalah ulama mutaqaddimun,
khususnya Aimmah Arba’ah yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I dan Imam Ahmad, mereka sepakat bahwa hukum sutrah adalah mandub (di sukai) [[3]]
Kemudian Imam An Nawawi di dalam Roudhatu at Thalibin (1/398) juga
mengatakan :
يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة، من جدار، أو سارية، أو
غيرهما
“Di sunnahkan
untuk orang yang shalat untuk membuat sutrah, baik itu dari tembok, tiang
ataupun selain keduanya”
Penulis Kasyful Qana’ yaitu Al Imam Al Bahuti
Al Hambali mengatakan dalam bukunya (3/115) ;
وَتُسَنُّ صَلَاةُ غَيْرِ مَأْمُومٍ إمَامًا كَانَ أَوْ مُنْفَرِدًا ( إلَى
سُتْرَةٍ ) مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا
“Dan di sunnahkan bagi orang
yang tidak dalam posisi sebagai makmum, baik ia sebagai Imam ataupun shalat
bersendirian untuk membuat sutrah jika memungkinkan”
Adapun ulama Mu’ashirin
yang berpendapat demikian
diantaranya adalah Syaikh Bin Baz [[4]],
Syaikh Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (2/309) [[5]],
demikian pula Syaikh Fauzan dalam Al Mulakhas Al Fiqh [[6]].
Ini pulalah yang menjadi pendapat jumhur ulama.
Dalil Ulama Yang
Berpendapat Sutrah Itu ‘Mandub’
- Hadits Abu Sa’id Al Khudriy, yaitu {“Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (sutrah)”}. Dari lafadz yang ada pada hadits ini menunjukkan bahwa terkadang seorang yang shalat itu menghadap sutrah dan terkadang juga tidak, dan lafadz ini tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang shalat pasti menghadap sutrah. Ini tampak pada sabda beliau {“Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (sutrah)”}.
- Hadits Ibnu Abbas yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Abu Dawud dengan lafadz :
ان رسول الله صلى الله عليه
و سلم صلي في فضاء ليس بين يديه شيء
“Bahwasanya Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa Sallam
pernah shalat di tanah lapang dan tidak ada di depan beliau sesuatu apapun” [[7]]
- Hadits Ibnu Abbas lain yang menyebutkan ketika Nabi
shalat di Mina, dengan lafadz ;
والنبي
صلى الله عليه وسلم يصلِّي فيها بأصحابه إلى غير جدار
“,.dan Nabi Shalallohu alaihi wa Sallam shalat di Mina
dengan sahabatnya tanpa menghadap tembok,.”
Pentarjihan
Jika melihat dalil-dalil yang di gunakan dan alasan-alasanya yang ada maka
kami lebih cenderung pada pendapat pertama, yaitu sutrah itu wajib. Alasanya pertama
dalil-dalil yang di gunakan oleh ulama yang menyatakan sutrah itu mandub
(di sukai) atau sunnah adalah dalil-dalil yang sifatnya fi’liyah
(menunjukkan perbuatan), dan dalil yang di gunakan oleh ulama yang
mewajibkanya adalah dalil qouliyah (menunjukkan perkataan Nabi).
Sebagaimana di ketahui dalam ilmu ushul bahwa dalil yang sifatnya qouliyah
lebih di dahulukan dari pada dalil yang sifatnya fi’liyah.
Kedua adanya
celaan dari Nabi terhadap orang yang lewat di depan orang yang shalat. Jika
memang sutrah itu hanya sunnah ataupun mandub maka tidak akan
mungkin Nabi memberikan sedemikian terhadap orang yang melewatinya. Nabi
bersabda ;
لَوْ
يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَىِ الْمُصَلِّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ
أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Jika saja orang yang melewati depan orang
yang shalat itu tahu dosa yang di lakukannya maka sungguh jika ia berdiri empat
puluh (tahun) lebih baik baginya dari pada ia melewati orang yang sedang
shalat.” (HR :
Bukhari)
Ketiga ini merupakan pendapat yang paling selamat di
karenakan telah keluar dari khilaf ulama. Kedua belah pihak, baik yang
berpendapat sutrah itu sunnah maupun wajib sepakat bahwa sutrah di syariatkan.
Wallohu a’lam,...[Abu Ruqoyyah]
[1]
Al Fiqhu ‘alal Madzahib Al Arba’ah, 1/212 Terbitan Darul Hadits-Cairo
[2] Nukilan-nukilan di atas juga bisa di lihat dalam forum Ahlul
Hadits, tepatnya di link ; http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=98375
[3]
Al Fiqhu ‘alal Madzahib Al Arba’ah, 1/212 Terbitan Darul Hadits-Cairo
[4]
Dalam fatwa beliau Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibatin Muhimmatin Tata’allaqu Bi
Arkanil Islam halaman 81 terbitan Darul Faizin Riyadh
[5]
Terdapat pula dalam Fatawa Arkanil Islam soal no. 267
[6]
Terdapat pula dalam fatwa beliau no. 16559 di website pribadi beliau ; http://www.alfawzan.af.org.sa/
[7]
Al Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya mengatakan bahwa hadits ini ada penguatnya
dengan sanad yang lebih shahih dari hadits ini. Dan ta’liq dari Syaikh
Syuaib Al Arnauth terhadap riwayat Imam Ahmad ini adalah Shahih li ghairihi
masyaallah, tulisan antum bermanfaat sekali kang,, smg berkah ya,,
BalasHapusAmin,...atas doanya kang. Tulisan antum di masrazi.com juga bermanfaat,...Barokallohu fiek
Hapus